Jumat, 12 Oktober 2012

Agama Di Dunia


FIQH ISLAM
Materi I

Pengertian Fiqh
Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78)
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
1        Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
2        Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam
Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12)
Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
1        Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
2        Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
3        Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
4        Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
5        Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
6        Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
7        Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
Sumber-Sumber Fiqh Islam
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
-          Dasar (dalil).
-          Masalah yang akan diqiyaskan.
-          Hukum yang terdapat pada dalil.
-          Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Agama Dan Manusia
Pengertian Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada 
Tuhan.


Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.

Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.

Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu:
menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari 
Tuhan
menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari tuhan

Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.

Unsur-unsur Agama

A.Sebagai satu sistem Credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang muthlak di luar manusia.
B.Sebagai satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya yang mutlak itu.
C.Di samping merupakan satu sistem yang Credo dan sistem ritus, juga merupakan suatu sistem norma (tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaktub di atas).

Macam-macam Agama di Dunia

Macam-macam Agama

Agama yang ada di dunia ada dua jenis yaitu:
  1. Agama Samawi
Adalah agama yang turun dari langit seperti majusi, yahudi, nasrani dam islam
  1. Agama Ardhi
Adalah agama yang diciptakan oleh manusia seperti budha, hindu, konghuchu
Agama yang ada di Indonesia
Agama Islam
Tidak ada penjelasan
Agama Kristen protestan
  • Diperkenalkan pertama kali oleh bangsa belanda
  • Malukulah daerah mula penyebarannya
  • Gerejanya diberi nama sesuai dengan daerah penyebarnnya mis gereja jawa atau HKBP ( Huria Kristen protestan batak )
  • Wakilnya di Indonesia disebut Dewan Gereja Indonesia ( DGI )
  • Hari raya natal adalah peringatan kelahiran yesus kristus
  • Hari Raya paskah adalah kebangkitan yesus kristus tepat hari minggu 3 hari setelah waftanya.
Agama Kristen Katolik
  • Tokoh yang terkenal sebgai penyebarnya adlah Fransiscuc Xaverius
  • Misinya selain menyebarkan agama adalah membangun sekolah dan rumah sakit tersebar di Indonesia
  • Pusatnya di Vatikan, Roma
  • Pemimpin gereja katolik di Vatikan disebut Paus
  • Pemimpin gereja katolik di Indonesia disebut Uskup
  • Wakilnya di Indonesia disebut Majelis Agung WAli Gereja Indonesia ( MAWI )
  • Hari raya natal adalah peringatan kelahiran yesus kristus
  • Hari Raya paskah adalah kebangkitan yesus kristus tepat hari minggu 3 hari setelah waftanya.
Agama Hindu
  • Berasal dari India
  • Masuk Indonesia sekita abad 5 MAsehi
  • PEmeluknya banyak di Bali
  • KErajaan yang terkenal adalah kerajaan Majapahit
  • Rajanya yang terkanal adalah hayam wuruk dengan patih gajah mada
  • Kitab suci Weda
  • Tempat ibadah pura
  • Cndi hindu terbesar adalah prambanan di jateng
  • Hari RAya Nyepi merupakan peringatan tahun saka
  • Pada hari raya nyepi tidak boleh menyalakan api, makan, minum, dan melakukan aktivitas keduniaan
  • Hari raya galungan diperingati setiap 6 bulan sekali
  • GAlungan merupakan hari terciptanya alam semesta oleh sang hyang widi ( tuhan YME )
  • Masih ada hari raya lain yaitu kuningan, saraswati, dan pangerwesi

Agama Budha
  • Berkembang pada abad 7 MAsehi
  • Pada zaman kerajaan Sriwijaya
  • Kitab sucinya Tripitaka
  • Pembawanya Sidharta Gautama
  • Candi yang terkenal candi Borobudur
  • Hari raya Waisak dirayakan tiap bulan mei saaat terang bulam
  • Waisak adalah untuk memperingati kelahiran pangeran sidhrta Gautama, kemudian menjadi sang budha gautama, sang budha gautama memperoleh kesepurnaan hidup, dan untuk memperingati wafatnya sang budha gautama
  • Pada hari raya ini umat budha memberikan penghargaan pada biksu dan wihara

Kebutuhan Manusia Pada Agama

A. KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA
1. Pengertian
Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama dikenal pula kata din ( ) dari bahasa Arab dan dari kata religi dari bahasa Eropa satu pendapat menyatakan bahwa agama itu tersusun dari dua kata, tidak dang am = pergi, jadi tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian, adalagi pendapat yang menyatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Dan agama-agam memang mempunyai kitab-kitab suci, selanjutnya dikatakan lagi bahwa gam berarti tuntutan. Memang agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.
Din dalam bahasa semik berarti undang-undang atau hukum, dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan oleh seseorang menjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan kepatuhan membawa pula kepada paham batasan baik dari Tuhan yang tidak menjalankan kewajiban dan tidak patuh akan mendapat balasan yang tidak baik.
Adapun kata religi berasa dari bahasa latin menurut satu pendapat demikian Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata religi adalah relegre yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu juga sejarah dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang berkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain, kata itu berasal dari kata religere yang berarti mengikat ajaran-ajaran agama memang mengikat manusia dengan Tuhan.
Dari beberapa defenisi tersebut, akhirnya Harun Nasution mengumpulkan bahwa inti sari yang terkandung dalam istilah-istilah diatas ialah ikatan agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupannya sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, ikatan ghaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
Adapun pengertian agaa segi istilah dikemukakan sebagai berikut Elizabet K. Nottinghan dalam bukunya agama dan masyarakat berpendapat bahwa agama adalah gesjala yang begitu sering terdapat dimana-mana sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk menjual abstraksi ilmiah. Lebih lanjut Noktingham mengatakan bahwa agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna ari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama kerah menimbulkan khayalan yang paling luas dan juga digunakan untuk membenarkan kekejaman orang yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga merasakan takut dan ngeri. Sementara itu Durkheim mengatakan bahwa agama adalah patulan dari solidaritas sosial.
Sementara itu Elizabet K. Nottingham yang pendapatnya tersebut tampak menunjukkan pada realitas bahwa dia melihat pada dasarnya agama itu bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan suasana batin yang nyaman dan menyejukkan, tapi juga agama terkadang disalah gunakan oleh penganutnya untuk tujuan-tujuan yang merugikan orang lain. Misalnya, dengan cara memutar balikkan interpretasi agama secara keliru dan berujung pada tercapainya tujuan yang bersangkutan.
Selanjutnya karena demikian banyaknya defenisi sekarang agama yang demikian para ahli. Harun Nasution mengatakan dapat diberi defenisi sebagai berikut :
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatruhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu system tingkah laku (code of conduct) yang berasal di kekuatan ghaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan ghaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dan perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran yang dianutnya Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.

Berdasarkan uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dan Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi kegenerasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, yang didalamnya mencakup unsur emosional dan kenyataan bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan ghaib tersebut.

B. LATAR BELAKANG PERLUNYA MANUSIA TERHADAP AGAMA
Sekurang-kurangnya ada alasan yang melatar belakangi perlunya manusia terhadap agama. Alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Latar Belakang Fitrah Manusia
Dalam bukunya berjudul prospektif manusia dan agama, Murthada Muthahhari mengatakan bahwa disaat berbicara tentang para Nabi Imam Ali as. Menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingat manusia kepada manusia yang telah diikat oleh fitrah manusia, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak dicatat diatas kertas melainkan dengan pena ciptaan Allah dipermukaan terbesar dan lubuk fitrah manusia, dan diatas permukaan hati nurani serta dikedalaman perasaan batiniah.
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buat pertama kali ditegaskan kepada agama islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia, sebelumnya, manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru dimasa akhir-akhir ini muncul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitri keagamaan yang ada pada diri manusia inilah yang melatar belakangi perlunya manusia kepada agama, oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya hal tersebut.
Dalam konteks ini kita misalnya membaca ayat yang berbunyi :

Artinya ; “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu (QS.Al-rum : 30)

Setiap ciptaan Allah mempunyai fitrahnya sendiri-sendiri jangankan Allah sedang manusia saya membuat sesuatu itu dengan fitrahnya sendiri-sendiri .
Kesimpulannya bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi yang beragama ini memerlukan pembinasaan, pengarahan, pengambangan dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya.

2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia.
Faktor lainnya yang melatar belakangi manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan .
Walaupun manusia itu dianggap sebagai makhluk yang terhebat dan tertinggi dari segala makhluk yang ada di ala mini, akan tetapi mereka mempunyai kelemahan dan kekurangan karena terbatasnya kemampuan M. abdul alim Shaddiqi dalam bukunya “Quesk For True Happines” menyatakan bahwa keterbatasan manusia itu terletak pada pengetahuannya hanyalah tentang apa yang terjadi sekarang dan sedikit tentang apa yang telah izin. Adapun tentang masa depan yang sama sekali tidak tahu, oleh sebab itu kata beliau selanjutnya hukum apa sajapun yang dapat dibuat oleh manusia tentang kehidupan insani adalah berdasarkan pengalaman masa lalu. Selanjutnya dikatakan disamping itu manusia menjadi lemah karena di dalam dirinya ada hawa nafsu yang selain mengajak kepada kejahatan, sesudah itu ada lagi iblis yang selain berusaha menyesatkan manusia dari kebenaran dan kebaikan. Manusia hanya dapat melawan musuh-musuh ini ialah dengan senjata agama.
Allah menciptakan manusia dan berfirman “bahwa manusia itu telah diciptakan-nya dengan batas-batas tertenu dan dalam keadaan lemah.


Artinya :
“Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu (terasuk manusia) telah kami ciptakan dengan ukuran (batas) tertentu (qS. Al-Qomar : 49)

Untuk mengatasi kelemahan-kelemana dirinya itu dan keluar dari kegagalan-kegagalan tersebut tidak ada jalan lain kecuali dengan wahyu akan agama .

3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia adalah karena manusia adalah dalam kehidupan senantiasa menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan dari hawa nafsu dan bisikan syetan sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupa ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanipestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang didalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari keluhan.
Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunakan agar orang mengikuti keininannya, berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obatan terlarang dan sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu upaya untuk mengatasinya dan membentengi manusia adalah dengan mengejar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu saat ini semakin meningkat sehingga upaya mengamankan masyarakat menjadi penting


Agama Dan Tantangan Moderenitas

Islam Dan Tantangan Modernitas
Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang
bersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia
(weltanschaung) yang memberikan kacamata pada manusia dalam memahami
realitas.
Meski demikian, secara sosiologis, Iislam merupakan fenomena peradaban,
realitas sosial kemanusiaan. Pada wilayah ini nilai-nilai Islam bertemu dan
berdialog secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah
dalam partikularitas konteksnya.
Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi
penting dan harus selalu dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semesta
alam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama pada
posisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilangan
otentitasnya sebagai pedoman hidup.
Zaman Modern
Modern berarti baru, saat ini, up to date. Ini adalah makna
obyektif modern. Secara subyektif makna modern terkait erat dengan konteks
ruang waktu terjadinya proses modernisasi. Nurcholis Majid melihat zaman
modern merupakan kelanjutan yang wajar pada sejarah manusia. Setelah
melalui zaman pra-sejarah dan zaman agraria di Lembah Mesopotamia (bangsa
Sumeria) sekitar 5000 tahun yang lalu, umat manusia memasuki tahapan zaman
baru, zaman modern, yang dimulai oleh bangsa Eropa Barat laut sekitar dua
abad yang lalu (Majid; 2000, 450)
Zaman baru ini, menurut Arnold Toynbee seperti yang dikutip oleh
Majid, dimulai sejak menjelang akhir abad ke 15 M ketika orang Barat
berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri karena
telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan.
Zaman modern merupakan hasil dari kemajuan yang dicapai masyarakat Eropa
dalam sains dan teknologi. Pencapaian tersebut berimbas pada terbukanya
selubung kesalahan dogma gereja setelah manusia berhasil mengenal hukum-
hukum alam dan menguasainya. Pengetahuan tersebut menjadi kritik terhadap
gereja dan berujung pada sikap anti gereja. Maka, di era ini, manusia
menjadi penguasa atas diri dan hidupnya sendiri. Doktrin teosentris
(kekuasaan Tuhan) yang dihegemonikan gereja selama abad pertengahan diganti
dengan doktrin manusia sebagai pusat kehidupan (antroposentrisme).
Sebagai kritik atas masa lalu, zaman modern banyak memutus nilai-nilai dan
jalan hidup tradisional dan digantikan dengan nilai-nilai baru berdasar
sains yang dicapai manusia. Di era ini manusia mencipta pola hidup baru
yang berbeda dengan era sebelumnya. Tentang hal ini David Kolb
menyatakan “we are developing something new in history” (Kolb; 1986, 2)
Kepercayaan diri manusia modern membuat banyak dari mereka yang
mengasumsikan zaman modern sebagai puncak perkembangan sejarah
kemanusiaan. August Comte, salah seorang ilmuan positivis, mengakui bahwa
sejarah peradaban manusia mengalami tiga tahap perkembangan; 1) teologis,
dimana manusia memahami alam sebagai hasil campur tangan Tuhan. Tahap ini
terbagi dalam tiga sub: animisme, politeisme, dan monoteisme. 2)
metafisika. Pada tahap ini peran Tuhan di alam digantikan oleh prinsip-
prinsip metafisika, seperti kodrat. Dan tahap terakhir 3) adalah positif.
Tahap ini diwarnai oleh keyakinan yang cukup besar pada kemampuan sains dan
teknologi. Manusia tidak lagi mencari sebab absolut ilahiah dan berpaling
pada pemahaman hukum-hukum yang menguasai alam.(Donny Gahral Adian; 2002,
65-66).
Penguasaan atas sains dan teknologi membawa bangsa-bangsa Eropa ke
arah kemajuan luar biasa hingga mampu menandingi dan menguasai bangsa-
bangsa Islam. Kolonialisasi menjadi pilihan yang diambil bangsa-bangsa
penguasa baru tersebut. Kolonialisme dilakukan bukan hanya dengan senjata
mesin, tetapi juga tata nilai, ideologi dan kultur. Maka, terjadilah
pergesekan antara nilai baru yang dibawa oleh bangsa kolonial dengan kultur
asli bangsa muslim.
Tantangan Modernitas
Pergulatan modernitas dan tradisi dalam dunia Islam
melahirkan upaya-upaya pembaharuan terhadap tradisi yang ada. Harun
Nasution menyebut upaya tersebut sebagai gerakan pembaruan Islam, bukan
gerakan modernisme Islam. Menurutnya, modernisme memiliki konteksnya
sebagai gerakan yang berawal dari dunia Barat bertujuan menggantikan ajaran
agama Katolik dengan sains dan filsafat modern. Gerakan ini berpuncak pada
proses sekularisasi dunia Barat (Nasution; 1975, 11).
Berbeda dengan Nasution, Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah
modern dari pada pembaruan. Azra beralasan penggunaan istilah pembaruan
Islam tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam dunia
Islam modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan
muslim. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah westernisasi dan
sekularisasi seperti pada kasus Turki (Azra; 1996, xi)
Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam makna
subyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern dengan makna
obyektif. Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat
tidak hanya membawa sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola
hidup mereka yang sering kali berbeda dengan tradisi yang dianut masyarakat
obyek ekspansi.
Baik dalam makna obyektif atau subyektifnya, modernitas yang
diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat muslim, di
segala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali tradisi
yang pegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi. Respons ini
kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan.
Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar reaksi muslim atas perubahan
tersebut. Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat muslim juga menjadi
faktor penting terjadinya gerakan pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat yang
menyerukan revitalisasi kehidupan keagamaan dan membersihkan praktek-
praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap tidak islami.
Islam Dan Perubahan
Muara yang diharapkan dari proses dialektika nilai-nilai Islam
dengan modernitas adalah keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jika
upaya tersebut berhsil dengan baik. Sebaliknya, ketidakberhasilan proses
tersebut dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman modern.
Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapat
terulang kembali dalam konteks yang berbeda, dunia Islam.
Islam memiliki potensi kuat untuk menjawab tantangan tersebut.
Ernest Gellner, seperti yang dikutip Majid, menyatakan bahwa di antara tiga
agama monoteis; Yahudi, Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang paling dekat
dengan modernitas. Ini karena ajaran Islam tentang universalisme,
skripturalisme (ajaran bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami oleh
siapa saja, tidak ada kelas tertentu yang memonopoli pemahaman kitab suci
dalam hierarki keagamaan), ajaran tentang partisipasi masyarakat secara
luas (Islam mendukung participatory democracy), egalitarianisme spiritual
(tidak ada sistem kerahiban-kependetaan), dan mengajarkan sistematisasi
rasional kehidupan sosial (Majid, 467)
Yusuf Qardhawi menilai kemampuan Islam berdialog secara harmoni
dengan perubahan terdapat dalam jati diri Islam itu sendiri. Potensi
tersebut terlihat dari karakteristik Islam sebagai agama rabbaniyah
(bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya), insaniyah (sesuai dengan
fitrah dan demi kepentingan manusia), wasthiyyah (moderat-mengambil jalan
tengah), waqiiyah (kontekstual), jelas dan harmoni antara perubahan dan
ketetapan (Qardhawi; 1995).

II.Konsep Al-Qur’an Dan Manusia

Proses Kejadian Manusia

Mengetahui Bagaimana Proses Penciptaan Manusia

Takdir telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya diciptakan Langit dan Bumi, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma :
Sesungguhnya Allah menetapkan takdir-takdir makhluknya 50.000 (Lima puluh ribu) Tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.” (HR. Muslim 2653, shahih)
Bagaimana Kita Diciptakan?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At Tin : 5)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas bisa menjadi bahan renungan buat kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan mata. Alangkah sempurna penciptaannya dan alangkah indahnya! Lalu pernahkan kita memikirkan dari mana kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap penciptaannya? Pernahkah terpikir di benak kita bahwa tadinya kita berasal dari tanah dan dari setetes mani yang hina?
Pembahasan berikut ini mengajak Anda untuk melihat asal kejadian manusia agar hilang kesombongan di hati dengan kesempurnaan jasmani yang dimiliki dan agar kita bertasbih memuji Allah ‘Azza wa Jalla dengan kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada para Malaikat-Nya sebelum menciptakan Adam ‘Alaihis Salam :
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” (Shad : 71)
Begitu pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan orang-orang musyrikin yang ingkar dan sombong tentang dari apa mereka diciptakan. Dia Yang Maha Tinggi berfirman :
Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.” (Ash Shaffat : 11)
Dua ayat di atas dan ayat-ayat Al Qur’an lainnya yang serupa dengannya menunjukkan bahwasanya asal kejadian manusia dari tanah. Barangsiapa yang mengingkari hal ini, sungguh ia telah kufur terhadap pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri.
Berkaitan dengan hal di atas, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan tahapan-tahapan penciptaan itu dan begitu pula Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memberikan kabar kepada kita akan hal tersebut dalam hadits-haditsnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Al Mukminun : 12-14)
Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi … .” (Al Hajj : 5)
Ayat-ayat di atas menerangkan tahap-tahap penciptaan manusia dari suatu keadaan kepada keadaan lain, yang menunjukkan akan kesempurnaan kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa ‘Alaa saja yang berhak untuk diibadahi.
Begitu pula penggambaran penciptaan Adam ‘Alaihis Salam yang Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam yang berbau busuk dan diberi bentuk.
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (Al Hijr : 26)
Tanah tersebut diambil dari seluruh bagiannya, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam (sepenuh telapak tangan) tanah yang diambil dari seluruh bagiannya. Maka datanglah anak Adam (memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna kulit dan tabiat). Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan di antara yang demikian. Di antara mereka ada yang bertabiat lembut, dan ada pula yang keras, ada yang berperangai buruk (kafir) dan ada yang baik (Mukmin).” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi : ‘Hasan shahih’. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi juz 3 hadits 2355 dan Shahih Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)
Semoga Allah merahmati orang yang berkata dalam bait syi’irnya :
Diciptakan manusia dari saripati yang berbau busuk. Dan ke saripati itulah semua manusia akan kembali.
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘Alaihis Salam dari tanah. Dia ciptakan pula Hawa ‘Alaihas Salam dari Adam, sebagaimana firman-Nya :
Dia menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya … .” (Az Zumar : 6)
Dalam ayat lain :
Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya … .” (Al A’raf : 189)
Dari Adam dan Hawa ‘Alaihimas Salam inilah terlahir anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari air mani yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan hingga hari kiamat nanti. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 457)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (mani).” (As Sajdah : 7-8)
Imam Thabari rahimahullah dan selainnya mengatakan bahwa diciptakan anak Adam dari mani Adam dan Adam sendiri diciptakan dari tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz 9 halaman 202)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menempatkan nuthfah (yakni air mani yang terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi jima’) dalam rahim seorang ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha Kuasa menjadikan rahim itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon manusia. Dia nyatakan dalam firman-Nya :
Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan.” (Al Mursalat : 20-22)
Dari nuthfah, Allah jadikan ‘alaqah yakni segumpal darah beku yang bergantung di dinding rahim. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah yakni sepotong daging kecil yang belum memiliki bentuk. Setelah itu dari sepotong daging bakal anak manusia tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan tulang-tulang dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk menyelubungi tulang-tulang tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah ruh, lalu bergeraklah makhluk tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat, mendengar, dan meraba. (Bisa dilihat keterangan tentang hal ini dalam kitab-kitab tafsir, antara lain dalam Tafsir Ath Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lain-lain)
Demikianlah kemahakuasaan Rabb Pencipta segala sesuatu, sungguh dapat mengundang kekaguman dan ketakjuban manusia yang mau menggunakan akal sehatnya. Semoga Allah meridhai ‘Umar Ibnul Khaththab, ketika turun awal ayat di atas (tentang penciptaan manusia) terucap dari lisannya pujian :
“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin” Maha Suci Allah, Pencipa Yang Paling Baik
Lalu Allah turunkan firman-Nya :
Fatabarakallahu ahsanul khaliqin” untuk melengkapi ayat di atas. (Lihat Asbabun Nuzul oleh Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 241, dan Aysarut Tafasir Abu Bakar Jabir Al Jazairi juz 3 halaman 507-508)
Maha Kuasa Allah Tabaraka wa Ta’ala, Dia memindahkan calon manusia dari nuthfah menjadi ‘alaqah. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah dan seterusnya tanpa membelah perut sang ibu bahkan calon manusia tersebut tersembunyi dalam tiga kegelapan, sebagaimana firman-Nya :
… Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan … .” (Az Zumar : 6)
Yang dimaksud “tiga kegelapan” dalam ayat di atas adalah kegelapan dalam selaput yang menutup bayi dalam rahim, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam perut. Demikian yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Abu Malik, Adh Dhahhak, Qatadah, As Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 46 dan keterangan dalam Adlwaul Bayan juz 5 halaman 778)
Sekarang kita lihat keterangan tentang kejadian manusia dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Abi ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata :
Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan dibenarkan. Beliau bersabda (yang artinya) “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli Surga sehingga tidak ada di antara dia dan Surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga sehingga ia memasukinya.” (HR. Bukhari 6/303 -Fathul Bari dan Muslim 2643, shahih)
Berita Nubuwwah di atas mengabarkan bahwa proses perubahan janin anak manusia berlangsung selama 120 hari dalam tiga bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40 hari. Yakni 40 hari pertama sebagai nuthfah, 40 hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga dalam bentuk segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah perintahkan seorang Malaikat untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4 perkara di atas.
Dalam riwayat lain :
Malaikat masuk menuju nuthfah setelah nuthfah itu menetap dalam rahim selama 40 atau 45 malam, maka Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?” Lalu ia menulisnya. Kemudian berkata lagi : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?” Lalu ia menulisnya dan ditulis (pula) amalnya, atsarnya, ajalnya, dan rezkinya, kemudian digulung lembaran catatan tidak ditambah padanya dan tidak dikurangi. (HR. Muslim dan Hudzaifah bin Usaid radhiallahu ‘anhu, shahih)
Dalam Ash Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Allah mewakilkan seorang Malaikat untuk menjaga rahim. Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Nuthfah, Wahai Rabbku! Segumpal darah, wahai Rabbku! Segumpal daging.” Maka apabila Allah menghendaki untuk menetapkan penciptaannya, Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan? Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia? Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana ajalnya?” Maka ditulis yang demikian dalam perut ibunya. (HR. Bukhari `11/477 -Fathul Bari dan Muslim 2646 riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Dari beberapa riwayat di atas, ulama menggabungkannya sehingga dipahami bahwasanya Malaikat yang ditugasi menjaga rahim terus memperhatikan keadaan nuthfah dan ia berkata : “Wahai Rabbku! Ini ‘alaqah, ini mudhghah” pada waktu-waktu tertentu saat terjadinya perubahan dengan perintah Allah dan Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu. Adapun Malaikat yang ditugasi, ia baru mengetahui setelah terjadinya perubahan tersebut karena tidaklah semua nuthfah akan menjadi anak. Perubahan nuthfah itu terjadi pada waktu 40 hari yang pertama dan saat itulah ditulis rezki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya. Kemudian pada waktu yang lain, Malaikat tersebut menjalankan tugas yang lain yakni membentuk calon manusia tersebut dan membentuk pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang, apakah calon manusia itu laki-laki ataukah perempuan. Yang demikian itu terjadi pada waktu 40 hari yang ketiga saat janin berbentuk mudhghah dan sebelum ditiupkannya ruh karena ruh baru ditiup setelah sempurna bentuknya.
Adapun sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Apabila telah melewati nuthfah waktu 42 malam, Allah mengutus padanya seorang Malaikat, maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, panglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan … .”
Al Qadhi ‘Iyadl dan selainnya mengatakan bahwasanya sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di atas tidak menunjukkan dhahirnya dan tidak benar pendapat yang membawakan hadits ini pada makna dhahirnya. Akan tetapi yang dimaksudkan maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, penglihatannya … dan seterusnya adalah bahwasanya Malaikat itu menulis yang demikian, kemudian pelaksanaannya pada waktu yang lain (pada waktu 40 hari yang ketiga) dan tidak mungkin pada waktu 40 hari yang pertama. Urutan perubahan tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al Mukminun ayat 12 sampai 14. (Lihat keterangan hal ini dalam Shahih Muslim Syarah Imam An Nawawi, halaman 189-191)
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (II/484) membawakan secara ringkas perkataan Ibnu Ash Shalah : “Adapun sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits Hudzaifah bahwasanya pembentukan terjadi pada awal waktu 40 hari yang kedua. Sedangkan dalam dhahir hadits Ibnu Mas’ud dikatakan bahwa pembentukan baru terjadi setelah calon anak manusia menjadi mudhghah (segumpal daging). Maka hadits yang pertama (hadits Hudzaifah) dibawa pengertiannya kepada pembentukan secara lafadh dan secara penulisan saja belum ada perbuatan, yakni pada masa itu disebutkan bagaimana pembentukan calon anak manusia dan Malaikat yang ditugasi menuliskannya.”
Dalam ta’liq kitab Tuhfatul Wadud halaman 203-204 disebutkan bahwasanya hadits yang menyatakan Malaikat membentuk nuthfah setelah berada di rahim selama 40 malam, tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang lain. Karena pembentukan Malaikat atas nuthfah terjadi setelah nuthfah tersebut bergantung di dinding rahim selama 40 hari yakni ketika telah berubah menjadi mudhghah. Wallahu A’lam.
Perubahan janin dari nuthfah menjadi ‘alaqah dan seterusnya itu berlangsung setahap demi setahap (tidak sekaligus). Pada waktu 40 hari yang pertama, darah masih bercampur dengan nuthfah, terus bercampur sedikit demi sedikit hingga sempurna menjadi ‘alaqah pada 40 hari yang kedua, dan sebelum itu tidaklah ia dinamakan ‘alaqah. Kemudian ‘alaqah bercampur dengan daging, sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi mudhghah. (Lihat Fathul Bari)
Tatkala telah sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah ruh dan hal ini telah disepakati oleh ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah membangun madzhabnya yang masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas’ud bahwasanya anak ditiupkan ruh padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu bila janin seorang wanita gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut dishalatkan (telah memiliki ruh kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian juga dari Sa’id Ibnul Musayyib dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi’i dan Ishaq.
Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia berkata : “Apabila janin telah mencapai umur 4 bulan 10 hari, maka pada waktu yang 10 hari itu ditiupkan padanya ruh dan dishalatkan atasnya (bila janin tersebut gugur).” (Lihat Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam halaman 88-89 oleh Abi Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Kita lihat dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas bahwasanya penulisan Malaikat terjadi setelah berlalu waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan pada riwayat-riwayat di atas, penulisan Malaikat terjadi setelah waktu 40 hari yang pertama. Riwayat-riwayat tersebut tidaklah bertentangan.
Imam An Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarah Muslim (juz 5 halaman 191) setelah membawakan lafadh hadits dari Imam Bukhari berikut ini (yang artinya) : ‘Sesungguhnya penciptaan setiap kalian dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari (sebagai nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga. Kemudian menjadi segumpal daging selama itu juga. Kemudian Allah mengutus seorang Malaikat dan diperintah (untuk menuliskan) empat perkara, rezkinya dan ajalnya, sengsara atau bahagianya. Kemudian ditiupkan ruh padanya … .’
Sabda  …)) menunjukkanq…)) dengan menggunakan ((…  q çCÎIbeliau ((…  diakhirkannya penulisan Malaikat atas perkara-perkara tersebut setelah waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan dalam hadits-hadits yang lain penulisan itu ditetapkan setelah waktu 40 hari yang pertama. Jawaban Õv©¿à ÕvlFDdari permasalahan ini adalah bahwasanya sabda beliau ((…   …)) merupakan ma’thuf dari sabdanya ((…q çCÎI ªÛvt ¯Ûpnm  …)) bukan dengan sabda sebelumnya yakni ((…çJpÏ Õæ ±cs §Ýt q çluà ÝZÒE ÝHnt …)). Maka sabda beliau ((… q çluà ÝZÒE ÝHnt …)) merupakan kalimat sisipan antara ma’thuf dan q çluà ÌnjE ÝHnt¡ ma’thuf ‘alaih dan yang demikian ini dibolehkan dan biasa dijumpai dalam Al Qur’an, hadits yang shahih, dan selainnya dari ucapan orang-orang Arab.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
Sabda ÕvlFD… )) merupakan ma’thuf dari (( …  q çluà ÌnjE ÝHnt ¿Ûmbeliau ((…  … )) merupakan kesempurnaan dari çJpÏ… )). Adapun sabdanya (( …  kalimat-kalimat yang awal. Dan tidaklah yang dimaksudkan bahwasanya penulisan Malaikat itu baru terjadi setelah selesai tiga tahap kejadian (dari nuthfah sampai menjadi mudhghah). Bisa jadi (yang diberitakan dalam hadits Ibnu Mas’ud) yang dimaksudkan adalah untuk susunan berita saja, bukan susunan yang diberitakan.” (Fathul Bari 11/485)
Yang jelas penulisan takdir untuk janin di perut ibunya bukanlah penulisan takdir yang ditetapkan untuk semua makhluk sebelum makhluk itu dicipta. Karena takdir yang demikian telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma :
Sesungguhnya Allah menetapkan takdir-takdir makhluknya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.” (HR. Muslim 2653, shahih)
Dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena (Al Qalam). Lalu Dia berfirman kepadanya : “Tulislah!” Maka pena menuliskan segala apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. (HR. Abu Daud 4700, Tirmidzi 2100, dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Iqadzul Himam)
Banyak nash yang menyebutkan bahwa penetapan takdir seseorang apakah ia termasuk orang yang bahagia atau sengsara telah ditulis terdahulu. Antara lain dalam Shahihain dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Tidak ada satu jiwa melainkan Allah telah menulis tempatnya di Surga atau di neraka dan telah ditulis sengsara atau bahagia.” Maka seorang laki-laki berkata : “Wahai Rasulullah! Mengapa kita tidak mengikuti (saja) ketentuan kita (yang telah ditulis) dan kita tinggalkan amal?” Maka beliau bersabda : “Beramal-lah, maka setiap orang akan dimudahkan terhadap apa yang ditetapkan baginya. Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang sengsara akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang sengsara.” Kemudian beliau membaca : “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail : 5-7) [HR. Bukhari 3/225 -Fathul Bari dan Muslim 2647]
Bahagia atau sengsara seseorang ditentukan oleh akhir amalnya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas. Demikian pula dalam hadits berikut, dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
Sesungguhnya hanyalah amal-amal ditentukan pada akhirnya (penutupnya).” (HR. Bukhari 11/330 -Fathul Bari)
Sebagai penutup dapat kita simpulkan bahwa Allah Maha Kuasa menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menciptakan manusia pertama (Adam ‘Alaihis Salam) dari tanah, sedangkan anak-anak Adam berketurunan dengan nuthfah hingga akhir kehidupan nanti. Dia tempatkan nuthfah dalam rahim ibu dan dijaga oleh seorang Malaikat. Nuthfah ini kemudian pada akhirnya menjadi segumpal daging dan dari segumpal daging terus berkembang hingga menjadi sosok anak manusia kecil yang bernyawa lengkap dengan pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki. Bersamaan dengan itu telah ditulis ketentuan takdir untuknya, apakah rezkinya lapang ataukah sempit, apakah amalnya baik atau sebaliknya, kapan datang ajalnya dan apakah ia termasuk hamba Allah yang beruntung ataukah yang sengsara. Naudzubillah!




Tatapan Kehidupan Manusia

Lima Fase Kehidupan Seorang Insan
1.Fase pertama: Dari dilahirkan hingga usia baligh (kurang lebih 15 tahun)
Masa ini adalah masa-masa untuk menanam, yakni fase pembentukan anak yang dibentuk dengan selera dan keinginan orang tuanya masing-masing. Maka pada masa ini tanggung jawab pendidikan mereka lebih ditujukan pada orang tua atau wali dari masing-masing anak tersebut. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi sallam:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut seorang Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR.Muslim)
Sang anak lahir dalam keadaan mengetahui apa-apa, tidak mengerti apa saja yang bisa memberi manfaat maupun yang mendatangkan bahaya baginya.
Sehingga pada tahapan ini sangat bergantung pada pendidikan orang tua kepada anak-anaknya masing-masing. Jika dia mendidik mereka dengan Tarbiyyah Maddiyyah (pendidikan materi/duniawi), maka anak tersebut akan tumbuh sebagai anak yang berorientasi ke dunia (materi) saja. Yang dipikirkan dan dikerjakannya adalah demi kepentingan duniawi atau meraih materi semata, sebagaimana yang terjadi pada kaum Hedonis.
Demikian pula sebaliknya, jika yang diupayakan oleh orang tuanya adalah Tarbiyah Diniyyah (pendidikan agama), maka dengan izin Allah subhaanahu wa ta’aalaa anak tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang shalih atau shalihah.
Maka yang dituntut untuk berperan aktif pada fase ini adalah para orang tua, agar mereka senantiasa memberikan Tarbiyah Diniyyah kepada anak mereka, sehingga dihasilkan anak-anak yang shalih dan shalihah. Sebagaimana yang telah Allah subhaanahu wa ta’aalaa perintahkan:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At- Tahrim: 6)
Dengan cara mengajari dan membenahi akidah (keyakinan), ibadah, muamalah, akhlak, dan adab sang anak, sesuai tuntunan syariat. Karena masa-masa ini merupakan tahapan yang menentukan bagi seseorang. Jika orang tua mampu (dengan izin Allah) mencetak anak-anaknya menjadi anak yang shalih dan shalihah, maka insya Allah pada tahap berikutnya akan lebih mudah untuk dilalui. Namun jika orang tuanya gagal dalam mendidik sang anak pada tahapan ini, maka pada fase-fase berikutnya akan jauh lebih sulit untuk dilalui.
2. Fase kedua: Dari usia baligh sampai akhir usia syabab (35 tahun)
Pada usia ini seseorang sudah menjadi mukallaf (terbebani syariat), diperintah oleh syariat untuk mengerjakan sesuatu atau diperintah oleh Allah untuk meninggalkan sesuatu. Dalam tahapan ini bisa kita sebut dengan masa jihad, yaitu jihad melawan nafsu dan iblis beserta bala tentaranya. Sehingga dalam masa ini seseorang dituntut bersungguh-sungguh untuk berperang melawan hawa nafsunya.
Pada waktu yang sama, sang anak baru saja baligh, yang saat ini merupakan usia labil. Keumuman mereka lebih mengedepankan hawa nafsu, belum bisa menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka lebih mengutamakan dorongan nafsu sepintas. Maka pada fase kedua ini tergantung dari keberhasilan fase yang pertama.
Pada waktu yang sama, sang anak baru saja baligh, yang saat ini merupakan usia labil. Keumuman mereka lebih mengedepankan hawa nafsu, belum bisa menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka lebih mengutamakan dorongan nafsu sepintas. Maka pada fase kedua ini tergantung dari keberhasilan fase yang pertama.
Jika orang tuanya berhasil mendidik dia pada fase pertama, maka pada masa ini akan lebih mudah untuk mengarahkan sang anak. Mudah bagi dia untuk mengenali syahwat yang menggodanya, juga mudah baginya untuk mengenali syubuhat (kerancuan-kerancuan) yang ada. Dia akan menjadi pemuda yang shalih, siap berperang melawan hawa nafsunya. Yang seperti ini karena keberhasilan tarbiyah (pendidikan) yang sebelumnya.
Jika dia berhasil melewati fase ini maka dia tergolong pemuda yang mulia, memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rabb Semesta Alam subhaanahu wa ta’aalaa, sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Tujuh golongan yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa akan menaungi mereka di hari kiamat, yang ketika itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (di antaranya) seorang pemuda yang dia tumbuh berkembang dalam keadaan taat beribadah pada Rabb-nya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Hadits ini menjelaskan adanya pemuda yang berhasil melalui fase kedua tadi, menang dalam jihad melawan hawa nafsunya. Dia meraih keutamaan ini dengan melakukan perjuangan yang berat, dengan penuh kesabaran, karena jarang ada kawula muda yang rela mengorbankan waktunya untuk duduk, tafaqquh fid din (belajar agama), dan melakukan ketaatan-ketaatan lainnya. Ini jika dibandingkan dengan mayoritas kawula muda yang hanyut dalam kemaksiatan, berkubang dalam syahwat, hura-hura, foya-foya dan semisalnya.
Jika pada fase kedua ini berhasil maka akan lebih mudah bagi dia untuk melalui fase berikutnya. Namun sebaliknya, jika gagal maka akan lebih mengerikan. Karena dia akan menjadi seorang pemuda yang hanya memperturutkan hawa nafsunya, larut dalam melakukan berbagai kemaksiatan, dan kemungkaran. Wal ‘iyadzu billah.
3. Fase ketiga: Dari usia 35–50 tahun
Kita bisa menyebutnya dengan masa “aji mumpung,” bisa bermakna positif dan bisa negatif. Jika sebelumnya dia berhasil menjadi pemuda yang shalih, maka pada usia ini dia akan menggunakannya secara positif. Mumpung (selagi masih ada waktu) untuk meneruskan dan terus melakukan amal shalih, mumpung masih memiliki kekuatan dari sisa-sisa masa mudanya, untuk terus di atas amalan-amalan ketaatan. Karena demikianlah yang dia dapatkan dari tarbiyah (pendidikan) sebelumnya.
Di atas umur 40 tahun ketika uban mulai tumbuh, rambut, dan jenggotnya mulai memutih, maka dia akan banyak melakukan muhasabah (introspeksi diri). Dia mencari apa yang kurang pada masa lalunya untuk kemudian dilengkapi, jika ada yang salah maka dia cepat ruju’ (kembali) dan bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Demikianlah keadaan seorang yang shalih.
Namun sebaliknya jika pada fase sebelumnya gagal, maka ini pun menjadi aji mumpung yang negatif. Mumpung belum terlalu tua, mumpung masih punya sisa-sisa kekuatan, maka sekalian saja untuk melampiaskan hawa nafsunya, nanti saja bertaubatnya kalau sudah tua. Seolah-olah ajal atau kematian ada di tangannya. Kondisinya semakin mengerikan, kita berlindung kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa dari keadaan yang seperti ini.
4.Fase keempat: Dari usia 50–70 tahun
Pada masa ini seorang yang shalih dan shalihah maka dia akan menggencarkan muhasabah (introspeksi diri). Dia memiliki program untuk mempersiapkan kedatangan maut, banyak mengingat mati, dan memperbanyak amal shalih.
Adapun sebaliknya seseorang yang pada fase-fase sebelumnya gagal dan pada usia ini dia masih berprinsip “aji mumpung”, maka sungguh keterlaluan. Karena secara fisik sudah tidak memadai baginya, karena umumnya sudah renta, ringkih, dan lemah. Secara usia pun sudah tidak sepantasnya.
Jika pada masa-masa ini dia masih senang melakukan dosa dan kemaksiatan, maka dalam Islam orang semacam ini akan dilipatgandakan hukuman untuknya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan:
“Ada tiga jenis manusia, yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa tidak mengajak mereka berbicara pada hari kiamat, tidak pula melihat mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih, (satu diantaranya -pent) seorang tua renta yang melakukan zina.” (HR. Muslim no. 107)
Diterangkan oleh para ulama, dilipatgandakan hukuman baginya karena faktor-faktor yang mendorong dia untuk berzina sudah sangat lemah, sudah tidak sepadan dengan umurnya. Tetapi ketika dia masih senang melakukan perbuatan dosa semisal ini, maka dia termasuk orang tua yang celaka.
5. Fase kelima: Dari usia 70 tahun keatas (masa renta dan umumnya pikun)
Pada fase ini seorang yang shalih dia akan memperbanyak istighfar (meminta ampun) dan taubatnya kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa, meningkatkan amal ibadahnya, serta memohon untuk mendapatkan husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik)

Komponen Biologis Manusia
Historis dalam proses perkembangan kultur material dan spiritual manusia di atas bumi. Manusia merupakan manifestasi makhluk bio sosial, wakil dari spesies homo sapiens. Menurut Alex MA., “homo sapiens” adalah manusia mempunyai potensi berpikir dan kebijaksanaan.
Menurut filsafat manusia, manusia dipahami secara konseptual sesuai dengan sudut
pandang kefilsafatan tertentu. Bahwa manusia adalah homo mechanicus, homo erectus, homo ludens. Semuanya itu mengenai susunan kodrat kejasmanian. Kemudian dinamakan homo sapiens, animal rationale, animal symbolicum yang menitikberatkan konsepsinya pada susunan kodrat kejiwaan terutama daya cipta. Manusia sebagai homo recentis dan homo volens, yang menitik beratkan pada aspek rasa dan karsa. Semua tesis- tesis ini menyatu sebagai homo mensura dan homo feber, menyatu sebagai homo educandum.
Di samping susunan kodrat kejasmanian dan kejiwaan, manusia juga makhluk sosial atau homo economicus dan homo sicius atau dalam artian lain homo viator dan homo religius yang berhubungan dengan kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan. Kesemua istilah itu akan membawa manusia sebagai homo concorus, yaitu makhluk yang siap untuk transformasi diri dan adaptif.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi umat Islam secara jelas mengetengahkan konsep manusia, menurut Muin Salim pengungkapan manusia dalam al-Qur’an melalui dua
pendekatan. Pertama, dengan menelusuri arti kata-kata yang digunakan al-Quran untuk menunjuk makna manusia.
Secara terminologis, ungkapan al-Qur’an untuk menunjukkan konsep manusia terdiri atas tiga kategori, yaitu:
a)      al-insan, al-in’s, unas, al-nas, anasiy dan insiy;
b)      al-basyar; dan;
c)     c) bani adam “anak adam ” dan §urriyyat adam “keturunan adam”
Menurut M. Dawam Raharjo istilah manusia yang diungkapkan dalam al -Qur’an seperti basyar, insan, unas, insiy, ‘imru, rajul atau yang mengandung pengertia perempuan seperti imra’ah, nisa’ atau niswah atau dalam ciri personalitas, seperti al-atqa, al-abrar, atau ulul-albab, juga sebagai bagian kelompok sosial seperti al-asyqa, dzul-qurba, al-dhu’afa atau al-musta«’af-n yang semuanya mengandung petunjuk sebagai manusia dalam hakekatnya dan manusia dalam bentuk kongkrit.

Firman Allah swt :
“Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang pada umumnya
berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamakan basyarah karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang lainnya. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan 1 kali dalam bentuk mu£anna (dual) untuk menunjukkan manusia dari aspek lahiriah serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian manusia dengan menggunakan kata basyar, artinya anak keturunan adam atau bani adam , mahkluk fisik atau biologis yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang menyebut pengertian basyar mencakup anak keturunan adam secara keseluruhan.
Al-Basyar mengandung pengertian bahwa manusia akan berketurunan yaitu mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya, baik yang
berupa sunnatullah (sosial kemasyarakatan), maupun takdir Allah (hukum alam).
Semuanya itu merupakan konsekuensi logis dari proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Untuk itu, Allah swt. memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai
dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.
 Adapun penamaan manusia dengan kata al-insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat.21 Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.

Ruh Dan Nafas

1.     Ruh Dan Nafas
A.     Ruh
Kata roh juga memiki 2 makna :
·           Makna yang pertama adalah roh alami atau nyawa yang berbentuk seperti uap, bersumber dari darah hitam yang terdapat dalam rongga hati. Uap ini tersebar melalui pembuluh nadi yang ada di semua bagian anggota tubuh. Roh dengan makna seperti ini dapat diilustrasikan seperti cahaya lampu yang menerangi setiap sudut rumah. Inilah yang dimaksud oleh para dokter dengan nyawa.
·           Makna yang kedua adalah bisikan halus rabbaniah (ketuhanan)  yang menjadi makna hakiki dari hati. Roh dan hati ini menyampaikan bisikan halus tersebut dalam satu rangkaian http://web1hari.com/file/gif/17/17_85.gifsecara berurutan. Makna roh seperti inilah yang diisyaratkan firman Allah SWT:

Artinya :
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” ( QS. Al-Israa’ 85).

B.     NAFAS
Nafs atau jiwa atau soul, adalah sebuah entitas lain dari diri manusia sebagai jasad, dimana dia berasal dari alam malakut yang terbuat dari elemen cahaya, akan tetapi bukanlah seperti cahaya yang terbayangkan oleh kita ketika melihat cahaya lampu, elemen cahaya ini sangat khas dan tak terinderai oleh mata lahiriyah kita, sebagaimana Allah telah menciptakan malaikat dari elemen yang sama. Jiwa juga memiliki indera sebagaimana yang dimiliki oleh indera jasad tetapi dalam dimensi yang berbeda karena perbedaan elemen pembentuknya.
Misalkan dalam jasad ada mata untuk melihat setiap benda yang dapat di inderai yang memiliki wujud dengan ruang dan waktu, maka dalam jiwa atau nafs terdapat mata jiwa atau istilah umum yang digunakan adalah mata batin, yang dalam Alquran diistilahkan dengan al-bashirah, juga memiliki fungsi untuk melihat, namun yang dilihatnya adalah apa yang tak tampak dalam penglihatan jasad, karena itu dia dapat memiliki kemampuan melihat jauh di atas kemampuan jasad, seperti alam malakut semisal malaikat dan jiwa-jiwa lainnya. Bahkan sering kita mendengar seorang yang karena keshalihannya sehingga Allah Swt anugerahkan sebuah keterbukaan pada bashirah-nya hingga dia bisa membaca apa yang ada dalam hati orang lain.
Demikian pula dengan indera jasad lainnya, maka jiwa pun memiliki indera yang semisal. Jadi yang membedakan keduanya hanyalah materi yang membentuknya. Jasad tersusun dari materi bumi, yaitu air, api, tanah dan udara yang semuanya berasal dari alam mulk atau alam kasat mata (alam syahadah), sedangkan jiwa dibuat dari materi cahaya, yang semisal dengan materi malaikat karena keduanya berasal dari alam malakut. AlGhazali menyebut istilah nafs ini dengan sebutan ”sesuatu yang abstrak yang membentuk diri manusia secara hakiki”.
Selanjutnya beliau melanjutkan bahwa nafs ini dilukiskan dengan berbagai macam sifat sesuai dengan bebagai keadaannya yang berbeda-beda. Jika ia dalam keadaan selalu tenang dan tenteram dalam menerima ketentuan Allah dan lainnya, dan terhindar dari kegelisahan yang disebabkan oleh pelbagai macam godaan ambisi, maka ia disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenang dan tentram).






9
Firman Allah surah
fajr 27.gif
fajr 28.gif
Artinya :
”Wahai nafs muthmainnah, kembalilah kepada Rabb-mu dalam keadaan ridla dan diridlai.” ( QS fajr ayat 27-28 )
Sedangkan apabila nafs ini selalu gelisah karena berada dalam kondisi perlawanan terhadap godaan syahwat hawa nafsu, maka ia disebut dengan nafs lawwaamah. (jiwa yang senantiasa menyesali dirinya dan mengecam). Karena ia selalu menyesali dirinya sendiri atas kelalaiannya dalam melakukan pengabdian kepada Allah.
Firman Allah surah


Artinya :
”..dan Aku (Allah) bersumpah dengan nafs lawwaamah (jiwa yang selalu mengecam)” (QS 75:2)
Selanjutnya, jika nafs ini tidak berusaha menyesali dirinya, bahkan senantiasa tunduk patuh kepada dorongan hawa nafsu dan memperturuti bisikan syetan, maka ia disebut nafs ammaarah bis-suu`i (Nafs yang cenderung menyuruh pada kejahatan).


Karakteristik Manusia

Dalam kehidupan ini manusia dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu:
1.      Manusia yang Berperilaku dengan Akhlak Islamiah
Ia adalah orang yan rajin beribadah dan rajin ke mesjid. Orang seperti ini harus di nomor satukan, karena mereka lebih dekat dengan dakwah kita, sehingga tidak membutuhkan tenaga yang banyak dan untuk mengajak mereka pun tidak banyak kesulitan, Insya Allah.
2.      Manusia yang Berperilaku dengan Akhlak Asasiyah
Ia adalah orang yang tidak taat beragama, tetapi tidak mau terang-terangan dalam berbuat maksiat karena ia masih menghormati harga dirinya. Orang-orang semacam ini menempati urutan kedua.
3.      Manusia yang Berperilaku dengan Akhlak Jahiliah
Ia adalah orang yang bukan dari golongan pertama dan kedua. Dialah orang yang tidak peduli terhadap orang lain, sedang orang lain mencibirnya karena perbuatan dan perangainya yang jelek. Rasullullah saw bersabda, “sesungguhnya sejelek-jelek tempat manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan (dijauhi) masyarakatnya karena takut dengan kejelekannya”. (HR. Bukhari dan Muslim). Golongan inilah yang disebut dalam sabda Raullullah saw sebagai “”sejelek-jeleknya tempat bergaul”. (HR Muslim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar