FIQH ISLAM
Materi I
Pengertian Fiqh
Fiqih menurut bahasa berarti
‘paham’, seperti dalam firman Allah:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang
munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78)
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan
pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua
Arti:
1
Pengetahuan tentang hukum-hukum
syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka
yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari
dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As
sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
2
Hukum-hukum syari’at itu sendiri.
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan
untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu
perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau
dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum
syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat,
puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban,
atau sunnah-sunnahnya).
Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah
Islam
Diantara keistimewaan fiqih Islam
-yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan
perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan
terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang
berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan
kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan
hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan
dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa
terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya
termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum
syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang
menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
Allah memerintahkan bersuci dan
menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana
firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Juga seperti shalat dan zakat yang
Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan
sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik,
menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk
disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12)
Fiqh Islam Mencakup Seluruh
Perbuatan Manusia
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan
manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia
mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang
terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang
hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi
seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah
mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur
seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab
fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah,
Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum
muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh
bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan
manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai
berikut:
1
Hukum-hukum yang berkaitan dengan
ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan
ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
2
Hukum-hukum yang berkaitan dengan
masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah,
warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
3
Hukum-hukum yang berkaitan dengan
perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan,
sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
4
Hukum-hukum yang berkaitan dengan
kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan,
memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang
berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban
taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan
Fiqih Siasah Syar’iah.
5
Hukum-hukum yang berkaitan dengan
hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan
ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang
lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
6
Hukum-hukum yang mengatur hubungan
negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang
perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
7
Hukum-hukum yang berkaitan dengan
akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab
dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih
Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan
seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
Sumber-Sumber Fiqh Islam
Semua hukum yang terdapat dalam
fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan
menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum
fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita
harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum
khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka
jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam
firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah
jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah
(QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak
memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber
dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah
kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.”
(Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no.
4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari
(Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no.
23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan
Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya;
kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
(Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah
sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang
tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum
subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam
terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat
Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua
setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn
dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya
jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari
Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas
al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka
bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah
menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti
pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh
ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum
syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi
sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka
adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya
wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa
tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang
telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu,
bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah
menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas
kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek
mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak
terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan
ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah,
maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah
disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita
mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak
didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang
sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada
qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum
dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat
setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
-
Dasar (dalil).
-
Masalah yang akan diqiyaskan.
-
Hukum yang terdapat pada dalil.
-
Kesamaan sebab/alasan antara dalil
dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan
dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan,
dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan
nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai
hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu
“memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram
sebagaimana pula khamer.
Agama Dan Manusia
Pengertian
Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti
"tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah
religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja
re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan
berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi
ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan
kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama
itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari
titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan
keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar
dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa
juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa
manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan
lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang
Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan
cara menghambakan diri, yaitu:
menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal
dari Tuhan
menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal
dari tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan
manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah
manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung
ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
Unsur-unsur
Agama
A.Sebagai
satu sistem Credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang
muthlak di luar manusia.
B.Sebagai
satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya yang
mutlak itu.
C.Di
samping merupakan satu sistem yang Credo dan sistem ritus, juga merupakan suatu
sistem norma (tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, dan
hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan
dan tata peribadatan termaktub di atas).
Macam-macam
Agama di Dunia
Macam-macam Agama
Agama yang ada di dunia ada dua jenis yaitu:
- Agama
Samawi
Adalah agama yang turun dari langit seperti majusi, yahudi, nasrani dam
islam
- Agama
Ardhi
Adalah agama yang diciptakan oleh manusia seperti budha, hindu, konghuchu
Agama yang ada di Indonesia
Agama Islam
Tidak ada penjelasan
Agama Kristen protestan
- Diperkenalkan
pertama kali oleh bangsa belanda
- Malukulah
daerah mula penyebarannya
- Gerejanya
diberi nama sesuai dengan daerah penyebarnnya mis gereja jawa atau HKBP (
Huria Kristen protestan batak )
- Wakilnya
di Indonesia disebut Dewan Gereja Indonesia ( DGI )
- Hari raya
natal adalah peringatan kelahiran yesus kristus
- Hari Raya
paskah adalah kebangkitan yesus kristus tepat hari minggu 3 hari setelah
waftanya.
Agama Kristen Katolik
- Tokoh yang
terkenal sebgai penyebarnya adlah Fransiscuc Xaverius
- Misinya
selain menyebarkan agama adalah membangun sekolah dan rumah sakit tersebar
di Indonesia
- Pusatnya
di Vatikan, Roma
- Pemimpin
gereja katolik di Vatikan disebut Paus
- Pemimpin
gereja katolik di Indonesia disebut Uskup
- Wakilnya
di Indonesia disebut Majelis Agung WAli Gereja Indonesia ( MAWI )
- Hari raya
natal adalah peringatan kelahiran yesus kristus
- Hari Raya
paskah adalah kebangkitan yesus kristus tepat hari minggu 3 hari setelah
waftanya.
Agama Hindu
- Berasal
dari India
- Masuk
Indonesia sekita abad 5 MAsehi
- PEmeluknya
banyak di Bali
- KErajaan
yang terkenal adalah kerajaan Majapahit
- Rajanya
yang terkanal adalah hayam wuruk dengan patih gajah mada
- Kitab suci
Weda
- Tempat
ibadah pura
- Cndi hindu
terbesar adalah prambanan di jateng
- Hari RAya
Nyepi merupakan peringatan tahun saka
- Pada hari
raya nyepi tidak boleh menyalakan api, makan, minum, dan melakukan
aktivitas keduniaan
- Hari raya
galungan diperingati setiap 6 bulan sekali
- GAlungan
merupakan hari terciptanya alam semesta oleh sang hyang widi ( tuhan YME )
- Masih ada
hari raya lain yaitu kuningan, saraswati, dan pangerwesi
Agama Budha
- Berkembang
pada abad 7 MAsehi
- Pada
zaman kerajaan Sriwijaya
- Kitab
sucinya Tripitaka
- Pembawanya
Sidharta Gautama
- Candi
yang terkenal candi Borobudur
- Hari raya
Waisak dirayakan tiap bulan mei saaat terang bulam
- Waisak
adalah untuk memperingati kelahiran pangeran sidhrta Gautama, kemudian
menjadi sang budha gautama, sang budha gautama memperoleh kesepurnaan
hidup, dan untuk memperingati wafatnya sang budha gautama
- Pada hari
raya ini umat budha memberikan penghargaan pada biksu dan wihara
Kebutuhan Manusia Pada Agama
A. KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA
1. Pengertian
Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama dikenal pula kata din ( )
dari bahasa Arab dan dari kata religi dari bahasa Eropa satu pendapat
menyatakan bahwa agama itu tersusun dari dua kata, tidak dang am = pergi, jadi
tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Agama memang mempunyai
sifat yang demikian, adalagi pendapat yang menyatakan bahwa agama berarti teks
atau kitab suci. Dan agama-agam memang mempunyai kitab-kitab suci, selanjutnya
dikatakan lagi bahwa gam berarti tuntutan. Memang agama mengandung
ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.
Din dalam bahasa semik berarti undang-undang atau hukum, dalam bahasa Arab kata
ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.
Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan
oleh seseorang menjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan kepatuhan membawa
pula kepada paham batasan baik dari Tuhan yang tidak menjalankan kewajiban dan
tidak patuh akan mendapat balasan yang tidak baik.
Adapun kata religi berasa dari bahasa latin menurut satu pendapat demikian
Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata religi adalah relegre yang
mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu juga sejarah
dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang
berkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain,
kata itu berasal dari kata religere yang berarti mengikat ajaran-ajaran agama
memang mengikat manusia dengan Tuhan.
Dari beberapa defenisi tersebut, akhirnya Harun Nasution mengumpulkan bahwa
inti sari yang terkandung dalam istilah-istilah diatas ialah ikatan agama
memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia manusia.
Ikatan ini mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupannya sehari-hari.
Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, ikatan
ghaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
Adapun pengertian agaa segi istilah dikemukakan sebagai berikut Elizabet K.
Nottinghan dalam bukunya agama dan masyarakat berpendapat bahwa agama adalah
gesjala yang begitu sering terdapat dimana-mana sehingga sedikit membantu
usaha-usaha kita untuk menjual abstraksi ilmiah. Lebih lanjut Noktingham
mengatakan bahwa agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur
dalamnya makna ari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama
kerah menimbulkan khayalan yang paling luas dan juga digunakan untuk
membenarkan kekejaman orang yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat
membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga merasakan takut
dan ngeri. Sementara itu Durkheim mengatakan bahwa agama adalah patulan dari
solidaritas sosial.
Sementara itu Elizabet K. Nottingham yang pendapatnya tersebut tampak menunjukkan
pada realitas bahwa dia melihat pada dasarnya agama itu bertujuan untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan suasana batin
yang nyaman dan menyejukkan, tapi juga agama terkadang disalah gunakan oleh
penganutnya untuk tujuan-tujuan yang merugikan orang lain. Misalnya, dengan
cara memutar balikkan interpretasi agama secara keliru dan berujung pada
tercapainya tujuan yang bersangkutan.
Selanjutnya karena demikian banyaknya defenisi sekarang agama yang demikian
para ahli. Harun Nasution mengatakan dapat diberi defenisi sebagai berikut :
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus
dipatruhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada
suatu sumber yang berada diluar diri manusia yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu system tingkah laku (code of conduct) yang berasal di kekuatan ghaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada
suatu kekuatan ghaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dan perasaan lemah dan perasaan
takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran yang dianutnya Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.
Berdasarkan uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama
adalah ajaran yang berasal dan Tuhan atau hasil renungan manusia yang
terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi
kegenerasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia
agar mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, yang didalamnya mencakup unsur
emosional dan kenyataan bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung pada adanya
hubungan yang baik dengan kekuatan ghaib tersebut.
B. LATAR BELAKANG PERLUNYA MANUSIA TERHADAP AGAMA
Sekurang-kurangnya ada alasan yang melatar belakangi perlunya manusia terhadap
agama. Alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Latar Belakang Fitrah Manusia
Dalam bukunya berjudul prospektif manusia dan agama, Murthada Muthahhari
mengatakan bahwa disaat berbicara tentang para Nabi Imam Ali as. Menyebutkan
bahwa mereka diutus untuk mengingat manusia kepada manusia yang telah diikat
oleh fitrah manusia, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya.
Perjanjian itu tidak dicatat diatas kertas melainkan dengan pena ciptaan Allah
dipermukaan terbesar dan lubuk fitrah manusia, dan diatas permukaan hati nurani
serta dikedalaman perasaan batiniah.
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buat pertama kali
ditegaskan kepada agama islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitri
manusia, sebelumnya, manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru dimasa
akhir-akhir ini muncul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya.
Fitri keagamaan yang ada pada diri manusia inilah yang melatar belakangi
perlunya manusia kepada agama, oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang
menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan
fitrahnya hal tersebut.
Dalam konteks ini kita misalnya membaca ayat yang berbunyi :
Artinya ; “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu (QS.Al-rum
: 30)
Setiap ciptaan Allah mempunyai fitrahnya sendiri-sendiri jangankan Allah sedang
manusia saya membuat sesuatu itu dengan fitrahnya sendiri-sendiri .
Kesimpulannya bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena
dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi yang beragama
ini memerlukan pembinasaan, pengarahan, pengambangan dan seterusnya dengan cara
mengenalkan agama kepadanya.
2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia.
Faktor lainnya yang melatar belakangi manusia memerlukan agama adalah karena
disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan .
Walaupun manusia itu dianggap sebagai makhluk yang terhebat dan tertinggi dari
segala makhluk yang ada di ala mini, akan tetapi mereka mempunyai kelemahan dan
kekurangan karena terbatasnya kemampuan M. abdul alim Shaddiqi dalam bukunya
“Quesk For True Happines” menyatakan bahwa keterbatasan manusia itu terletak
pada pengetahuannya hanyalah tentang apa yang terjadi sekarang dan sedikit
tentang apa yang telah izin. Adapun tentang masa depan yang sama sekali tidak
tahu, oleh sebab itu kata beliau selanjutnya hukum apa sajapun yang dapat
dibuat oleh manusia tentang kehidupan insani adalah berdasarkan pengalaman masa
lalu. Selanjutnya dikatakan disamping itu manusia menjadi lemah karena di dalam
dirinya ada hawa nafsu yang selain mengajak kepada kejahatan, sesudah itu ada
lagi iblis yang selain berusaha menyesatkan manusia dari kebenaran dan
kebaikan. Manusia hanya dapat melawan musuh-musuh ini ialah dengan senjata
agama.
Allah menciptakan manusia dan berfirman “bahwa manusia itu telah diciptakan-nya
dengan batas-batas tertenu dan dalam keadaan lemah.
Artinya :
“Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu (terasuk manusia) telah kami ciptakan dengan
ukuran (batas) tertentu (qS. Al-Qomar : 49)
Untuk mengatasi kelemahan-kelemana dirinya itu dan keluar dari
kegagalan-kegagalan tersebut tidak ada jalan lain kecuali dengan wahyu akan
agama .
3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia
adalah karena manusia adalah dalam kehidupan senantiasa menghadapi berbagai
tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa
dorongan dari hawa nafsu dan bisikan syetan sedangkan tantangan dari luar dapat
berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja
berupa ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan
biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanipestasikan dalam berbagai bentuk
kebudayaan yang didalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari keluhan.
Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk
mereka gunakan agar orang mengikuti keininannya, berbagai bentuk budaya,
hiburan, obat-obatan terlarang dan sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu
upaya untuk mengatasinya dan membentengi manusia adalah dengan mengejar mereka
agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu saat ini
semakin meningkat sehingga upaya mengamankan masyarakat menjadi penting
Agama Dan Tantangan Moderenitas
Islam Dan Tantangan Modernitas
Secara teologis, Islam merupakan
sistem nilai dan ajaran yang
bersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia
(weltanschaung) yang memberikan kacamata pada manusia dalam memahami
realitas.
Meski demikian, secara sosiologis, Iislam merupakan fenomena peradaban,
realitas sosial kemanusiaan. Pada wilayah ini nilai-nilai Islam bertemu dan
berdialog secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah
dalam partikularitas konteksnya.
Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi
penting dan harus selalu dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semesta
alam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama pada
posisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilangan
otentitasnya sebagai pedoman hidup.
Zaman Modern
Modern berarti baru, saat ini, up to date. Ini adalah makna
obyektif modern. Secara subyektif makna modern terkait erat dengan konteks
ruang waktu terjadinya proses modernisasi. Nurcholis Majid melihat zaman
modern merupakan kelanjutan yang wajar pada sejarah manusia. Setelah
melalui zaman pra-sejarah dan zaman agraria di Lembah Mesopotamia (bangsa
Sumeria) sekitar 5000 tahun yang lalu, umat manusia memasuki tahapan zaman
baru, zaman modern, yang dimulai oleh bangsa Eropa Barat laut sekitar dua
abad yang lalu (Majid; 2000, 450)
Zaman baru ini, menurut Arnold Toynbee seperti yang dikutip oleh
Majid, dimulai sejak menjelang akhir abad ke 15 M ketika orang Barat
berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri karena
telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan.
Zaman modern merupakan hasil dari kemajuan yang dicapai masyarakat Eropa
dalam sains dan teknologi. Pencapaian tersebut berimbas pada terbukanya
selubung kesalahan dogma gereja setelah manusia berhasil mengenal hukum-
hukum alam dan menguasainya. Pengetahuan tersebut menjadi kritik terhadap
gereja dan berujung pada sikap anti gereja. Maka, di era ini, manusia
menjadi penguasa atas diri dan hidupnya sendiri. Doktrin teosentris
(kekuasaan Tuhan) yang dihegemonikan gereja selama abad pertengahan diganti
dengan doktrin manusia sebagai pusat kehidupan (antroposentrisme).
Sebagai kritik atas masa lalu, zaman modern banyak memutus nilai-nilai dan
jalan hidup tradisional dan digantikan dengan nilai-nilai baru berdasar
sains yang dicapai manusia. Di era ini manusia mencipta pola hidup baru
yang berbeda dengan era sebelumnya. Tentang hal ini David Kolb
menyatakan “we are developing something new in history†(Kolb;
1986, 2)
Kepercayaan diri manusia modern membuat banyak dari mereka yang
mengasumsikan zaman modern sebagai puncak perkembangan sejarah
kemanusiaan. August Comte, salah seorang ilmuan positivis, mengakui bahwa
sejarah peradaban manusia mengalami tiga tahap perkembangan; 1) teologis,
dimana manusia memahami alam sebagai hasil campur tangan Tuhan. Tahap ini
terbagi dalam tiga sub: animisme, politeisme, dan monoteisme. 2)
metafisika. Pada tahap ini peran Tuhan di alam digantikan oleh prinsip-
prinsip metafisika, seperti kodrat. Dan tahap terakhir 3) adalah positif.
Tahap ini diwarnai oleh keyakinan yang cukup besar pada kemampuan sains dan
teknologi. Manusia tidak lagi mencari sebab absolut ilahiah dan berpaling
pada pemahaman hukum-hukum yang menguasai alam.(Donny Gahral Adian; 2002,
65-66).
Penguasaan atas sains dan teknologi membawa bangsa-bangsa Eropa ke
arah kemajuan luar biasa hingga mampu menandingi dan menguasai bangsa-
bangsa Islam. Kolonialisasi menjadi pilihan yang diambil bangsa-bangsa
penguasa baru tersebut. Kolonialisme dilakukan bukan hanya dengan senjata
mesin, tetapi juga tata nilai, ideologi dan kultur. Maka, terjadilah
pergesekan antara nilai baru yang dibawa oleh bangsa kolonial dengan kultur
asli bangsa muslim.
Tantangan Modernitas
Pergulatan modernitas dan tradisi
dalam dunia Islam
melahirkan upaya-upaya pembaharuan terhadap tradisi yang ada. Harun
Nasution menyebut upaya tersebut sebagai gerakan pembaruan Islam, bukan
gerakan modernisme Islam. Menurutnya, modernisme memiliki konteksnya
sebagai gerakan yang berawal dari dunia Barat bertujuan menggantikan ajaran
agama Katolik dengan sains dan filsafat modern. Gerakan ini berpuncak pada
proses sekularisasi dunia Barat (Nasution; 1975, 11).
Berbeda dengan Nasution, Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah
modern dari pada pembaruan. Azra beralasan penggunaan istilah pembaruan
Islam tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam dunia
Islam modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan
muslim. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah westernisasi dan
sekularisasi seperti pada kasus Turki (Azra; 1996, xi)
Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam makna
subyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern dengan makna
obyektif. Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat
tidak hanya membawa sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola
hidup mereka yang sering kali berbeda dengan tradisi yang dianut masyarakat
obyek ekspansi.
Baik dalam makna obyektif atau subyektifnya, modernitas yang
diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat muslim, di
segala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali tradisi
yang pegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi. Respons ini
kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan.
Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar reaksi muslim atas perubahan
tersebut. Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat muslim juga menjadi
faktor penting terjadinya gerakan pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat yang
menyerukan revitalisasi kehidupan keagamaan dan membersihkan praktek-
praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap tidak islami.
Islam Dan Perubahan
Muara yang diharapkan dari proses dialektika nilai-nilai Islam
dengan modernitas adalah keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jika
upaya tersebut berhsil dengan baik. Sebaliknya, ketidakberhasilan proses
tersebut dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman modern.
Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapat
terulang kembali dalam konteks yang berbeda, dunia Islam.
Islam memiliki potensi kuat untuk menjawab tantangan tersebut.
Ernest Gellner, seperti yang dikutip Majid, menyatakan bahwa di antara tiga
agama monoteis; Yahudi, Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang paling dekat
dengan modernitas. Ini karena ajaran Islam tentang universalisme,
skripturalisme (ajaran bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami oleh
siapa saja, tidak ada kelas tertentu yang memonopoli pemahaman kitab suci
dalam hierarki keagamaan), ajaran tentang partisipasi masyarakat secara
luas (Islam mendukung participatory democracy), egalitarianisme spiritual
(tidak ada sistem kerahiban-kependetaan), dan mengajarkan sistematisasi
rasional kehidupan sosial (Majid, 467)
Yusuf Qardhawi menilai kemampuan Islam berdialog secara harmoni
dengan perubahan terdapat dalam jati diri Islam itu sendiri. Potensi
tersebut terlihat dari karakteristik Islam sebagai agama rabbaniyah
(bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya), insaniyah (sesuai dengan
fitrah dan demi kepentingan manusia), wasthiyyah (moderat-mengambil jalan
tengah), waqiiyah (kontekstual), jelas dan harmoni antara perubahan dan
ketetapan (Qardhawi; 1995).
II.Konsep
Al-Qur’an Dan Manusia
Proses Kejadian Manusia
Mengetahui Bagaimana Proses Penciptaan Manusia
Takdir telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya
diciptakan Langit dan Bumi, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya Allah menetapkan takdir-takdir
makhluknya 50.000 (Lima puluh ribu) Tahun sebelum menciptakan langit-langit dan
bumi.” (HR. Muslim 2653, shahih)
Bagaimana
Kita Diciptakan?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At Tin : 5)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas bisa
menjadi bahan renungan buat kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan
mata. Alangkah sempurna penciptaannya dan alangkah indahnya! Lalu pernahkan
kita memikirkan dari mana kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap
penciptaannya? Pernahkah terpikir di benak kita bahwa tadinya kita berasal
dari tanah dan dari setetes mani yang hina?
Pembahasan berikut ini mengajak Anda untuk melihat
asal kejadian manusia agar hilang kesombongan di hati dengan kesempurnaan
jasmani yang dimiliki dan agar kita bertasbih memuji Allah ‘Azza wa Jalla
dengan kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada para
Malaikat-Nya sebelum menciptakan Adam ‘Alaihis Salam :
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia
dari tanah.” (Shad : 71)
Begitu pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengingatkan orang-orang musyrikin yang ingkar dan sombong tentang dari
apa mereka diciptakan. Dia Yang Maha Tinggi berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari
tanah liat.” (Ash Shaffat : 11)
Dua ayat di atas dan ayat-ayat Al Qur’an lainnya
yang serupa dengannya menunjukkan bahwasanya asal kejadian manusia dari tanah.
Barangsiapa yang mengingkari hal ini, sungguh ia telah kufur terhadap
pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri.
Berkaitan dengan hal di atas, maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah menentukan tahapan-tahapan penciptaan itu dan begitu pula
Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memberikan kabar kepada kita akan
hal tersebut dalam hadits-haditsnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik.” (Al Mukminun : 12-14)
“Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan
tentang kebangkitan (dari kubur), maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa
yang Kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan, kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi … .” (Al Hajj : 5)
Ayat-ayat di atas menerangkan tahap-tahap penciptaan
manusia dari suatu keadaan kepada keadaan lain, yang menunjukkan akan
kesempurnaan kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa ‘Alaa saja yang berhak untuk
diibadahi.
Begitu pula penggambaran penciptaan Adam ‘Alaihis
Salam yang Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna
hitam yang berbau busuk dan diberi bentuk.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
(Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk.” (Al Hijr : 26)
Tanah tersebut diambil dari seluruh bagiannya,
sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari
segenggam (sepenuh telapak tangan) tanah yang diambil dari seluruh bagiannya.
Maka datanglah anak Adam (memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna kulit dan
tabiat). Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan di antara
yang demikian. Di antara mereka ada yang bertabiat lembut, dan ada pula yang
keras, ada yang berperangai buruk (kafir) dan ada yang baik (Mukmin).”
(HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi : ‘Hasan shahih’.
Dishahihkan oleh Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi
juz 3 hadits 2355 dan Shahih Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)
Semoga Allah merahmati orang yang berkata dalam bait
syi’irnya :
Diciptakan
manusia dari saripati yang berbau busuk. Dan ke saripati itulah semua manusia
akan kembali.
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam
‘Alaihis Salam dari tanah. Dia ciptakan pula Hawa ‘Alaihas Salam dari Adam,
sebagaimana firman-Nya :
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri,
kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya … .” (Az Zumar : 6)
Dalam ayat lain :
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang
satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya
… .” (Al A’raf : 189)
Dari
Adam dan Hawa ‘Alaihimas Salam inilah terlahir anak-anak manusia di muka bumi
dan berketurunan dari air mani yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan
tulang dada perempuan hingga hari kiamat nanti.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 457)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya
dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina (mani).” (As Sajdah : 7-8)
Imam Thabari rahimahullah dan selainnya mengatakan
bahwa diciptakan anak Adam dari mani Adam dan Adam sendiri diciptakan dari
tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz 9 halaman 202)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menempatkan nuthfah (yakni
air mani yang terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi
jima’) dalam rahim seorang ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha Kuasa
menjadikan rahim itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon
manusia. Dia nyatakan dalam firman-Nya :
“Bukankah Kami menciptakan kalian dari air
yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai
waktu yang ditentukan.” (Al Mursalat : 20-22)
Dari
nuthfah, Allah jadikan ‘alaqah yakni segumpal darah beku yang bergantung di
dinding rahim. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah yakni sepotong daging kecil yang
belum memiliki bentuk. Setelah itu dari sepotong daging bakal anak manusia
tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian membentuknya memiliki kepala, dua
tangan, dua kaki dengan tulang-tulang dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan
daging untuk menyelubungi tulang-tulang tersebut agar menjadi kokoh dan kuat.
Ditiupkanlah ruh, lalu bergeraklah makhluk tersebut menjadi makhluk baru yang
dapat melihat, mendengar, dan meraba. (Bisa dilihat
keterangan tentang hal ini dalam kitab-kitab tafsir, antara lain dalam Tafsir
Ath Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lain-lain)
Demikianlah kemahakuasaan Rabb Pencipta segala
sesuatu, sungguh dapat mengundang kekaguman dan ketakjuban manusia yang mau
menggunakan akal sehatnya. Semoga Allah meridhai ‘Umar Ibnul Khaththab, ketika
turun awal ayat di atas (tentang penciptaan manusia) terucap dari lisannya
pujian :
“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin” Maha Suci Allah, Pencipa
Yang Paling Baik
Lalu Allah turunkan firman-Nya :
“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin” untuk
melengkapi ayat di atas. (Lihat Asbabun Nuzul oleh Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu
Katsir juz 3 halaman 241, dan Aysarut Tafasir Abu Bakar Jabir Al Jazairi juz 3
halaman 507-508)
Maha Kuasa Allah Tabaraka wa Ta’ala, Dia memindahkan
calon manusia dari nuthfah menjadi ‘alaqah. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah dan
seterusnya tanpa membelah perut sang ibu bahkan calon manusia tersebut
tersembunyi dalam tiga kegelapan, sebagaimana firman-Nya :
“ … Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan … .” (Az Zumar : 6)
Yang dimaksud “tiga kegelapan” dalam
ayat di atas adalah kegelapan dalam selaput yang menutup bayi dalam
rahim, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam perut. Demikian yang
dikatakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Abu Malik, Adh Dhahhak, Qatadah, As
Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 46 dan keterangan
dalam Adlwaul Bayan juz 5 halaman 778)
Sekarang kita lihat keterangan tentang kejadian
manusia dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Abi
‘Abdurrahman ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata :
Telah menceritakan kepada kami Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan
dibenarkan. Beliau bersabda (yang artinya) “Sesungguhnya setiap kalian
dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah.
Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan
seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang
Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara,
ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang
tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal
dengan amalan ahli Surga sehingga tidak ada di antara dia dan Surga melainkan
hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia
beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah
seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga
tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah
mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga sehingga
ia memasukinya.” (HR. Bukhari 6/303 -Fathul Bari dan Muslim 2643,
shahih)
Berita
Nubuwwah di atas mengabarkan bahwa proses perubahan janin anak manusia
berlangsung selama 120 hari dalam tiga bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung
selama 40 hari. Yakni 40 hari pertama sebagai nuthfah, 40 hari kedua dalam
bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga dalam bentuk segumpal daging. Setelah
berlalu 120 hari, Allah perintahkan seorang Malaikat untuk meniupkan ruh dan
menuliskan untuknya 4 perkara di atas.
Dalam riwayat lain :
Malaikat
masuk menuju nuthfah setelah nuthfah itu menetap dalam rahim selama 40 atau 45
malam, maka Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Apakah (nasibnya) sengsara
atau bahagia?” Lalu ia menulisnya. Kemudian berkata lagi : “Wahai Rabbku!
Laki-laki atau perempuan?” Lalu ia menulisnya dan ditulis (pula) amalnya,
atsarnya, ajalnya, dan rezkinya, kemudian digulung lembaran catatan tidak
ditambah padanya dan tidak dikurangi. (HR. Muslim
dan Hudzaifah bin Usaid radhiallahu ‘anhu, shahih)
Dalam Ash Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Allah
mewakilkan seorang Malaikat untuk menjaga rahim. Malaikat itu berkata : “Wahai
Rabbku! Nuthfah, Wahai Rabbku! Segumpal darah, wahai Rabbku! Segumpal daging.”
Maka apabila Allah menghendaki untuk menetapkan penciptaannya, Malaikat itu
berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan? Apakah (nasibnya) sengsara
atau bahagia? Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana ajalnya?” Maka ditulis yang
demikian dalam perut ibunya. (HR. Bukhari `11/477
-Fathul Bari dan Muslim 2646 riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Dari beberapa riwayat di atas, ulama
menggabungkannya sehingga dipahami bahwasanya Malaikat yang ditugasi menjaga
rahim terus memperhatikan keadaan nuthfah dan ia berkata : “Wahai Rabbku!
Ini ‘alaqah, ini mudhghah” pada waktu-waktu tertentu saat terjadinya perubahan
dengan perintah Allah dan Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu. Adapun Malaikat
yang ditugasi, ia baru mengetahui setelah terjadinya perubahan tersebut karena
tidaklah semua nuthfah akan menjadi anak. Perubahan nuthfah itu terjadi pada
waktu 40 hari yang pertama dan saat itulah ditulis rezki, ajal, amal, dan
sengsara atau bahagianya. Kemudian pada waktu yang lain, Malaikat tersebut menjalankan
tugas yang lain yakni membentuk calon manusia tersebut dan membentuk
pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang, apakah calon manusia itu
laki-laki ataukah perempuan. Yang demikian itu terjadi pada waktu 40 hari yang
ketiga saat janin berbentuk mudhghah dan sebelum ditiupkannya ruh karena ruh
baru ditiup setelah sempurna bentuknya.
Adapun
sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Apabila
telah melewati nuthfah waktu 42 malam, Allah mengutus padanya seorang Malaikat,
maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, panglihatannya, kulitnya,
dagingnya, dan tulangnya. Kemudian Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku!
Laki-laki atau perempuan … .”
Al Qadhi ‘Iyadl dan selainnya mengatakan bahwasanya
sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di atas tidak menunjukkan dhahirnya
dan tidak benar pendapat yang membawakan hadits ini pada makna dhahirnya. Akan
tetapi yang dimaksudkan maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya,
penglihatannya … dan seterusnya adalah bahwasanya Malaikat itu menulis yang
demikian, kemudian pelaksanaannya pada waktu yang lain (pada waktu 40 hari yang
ketiga) dan tidak mungkin pada waktu 40 hari yang pertama. Urutan perubahan
tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al Mukminun ayat 12 sampai
14. (Lihat keterangan hal ini dalam Shahih Muslim Syarah Imam An Nawawi,
halaman 189-191)
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam Fathul
Bari (II/484) membawakan secara ringkas perkataan Ibnu Ash Shalah : “Adapun
sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits Hudzaifah bahwasanya
pembentukan terjadi pada awal waktu 40 hari yang kedua. Sedangkan dalam dhahir
hadits Ibnu Mas’ud dikatakan bahwa pembentukan baru terjadi setelah calon anak
manusia menjadi mudhghah (segumpal daging). Maka hadits yang pertama (hadits
Hudzaifah) dibawa pengertiannya kepada pembentukan secara lafadh dan secara
penulisan saja belum ada perbuatan, yakni pada masa itu disebutkan bagaimana
pembentukan calon anak manusia dan Malaikat yang ditugasi menuliskannya.”
Dalam ta’liq kitab Tuhfatul Wadud halaman 203-204
disebutkan bahwasanya hadits yang menyatakan Malaikat membentuk nuthfah setelah
berada di rahim selama 40 malam, tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits
yang lain. Karena pembentukan Malaikat atas nuthfah terjadi setelah nuthfah
tersebut bergantung di dinding rahim selama 40 hari yakni ketika telah berubah
menjadi mudhghah. Wallahu A’lam.
Perubahan
janin dari nuthfah menjadi ‘alaqah dan seterusnya itu berlangsung setahap demi
setahap (tidak sekaligus). Pada waktu 40 hari yang pertama, darah masih
bercampur dengan nuthfah, terus bercampur sedikit demi sedikit hingga sempurna
menjadi ‘alaqah pada 40 hari yang kedua, dan sebelum itu tidaklah ia dinamakan
‘alaqah. Kemudian ‘alaqah bercampur dengan daging, sedikit demi sedikit hingga berubah
menjadi mudhghah. (Lihat Fathul Bari)
Tatkala telah sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah
ruh dan hal ini telah disepakati oleh ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
membangun madzhabnya yang masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas’ud bahwasanya
anak ditiupkan ruh padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu bila janin
seorang wanita gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut dishalatkan
(telah memiliki ruh kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian juga dari
Sa’id Ibnul Musayyib dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi’i dan
Ishaq.
Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia berkata : “Apabila
janin telah mencapai umur 4 bulan 10 hari, maka pada waktu yang 10 hari itu
ditiupkan padanya ruh dan dishalatkan atasnya (bila janin tersebut gugur).”
(Lihat Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam halaman 88-89
oleh Abi Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Kita lihat dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas
bahwasanya penulisan Malaikat terjadi setelah berlalu waktu 40 hari yang
ketiga. Sedangkan pada riwayat-riwayat di atas, penulisan Malaikat terjadi
setelah waktu 40 hari yang pertama. Riwayat-riwayat tersebut tidaklah
bertentangan.
Imam An Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarah
Muslim (juz 5 halaman 191) setelah membawakan lafadh hadits dari Imam Bukhari
berikut ini (yang artinya) : ‘Sesungguhnya penciptaan setiap kalian
dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari (sebagai nuthfah). Kemudian
menjadi segumpal darah selama itu juga. Kemudian menjadi segumpal daging selama
itu juga. Kemudian Allah mengutus seorang Malaikat dan diperintah (untuk
menuliskan) empat perkara, rezkinya dan ajalnya, sengsara atau bahagianya.
Kemudian ditiupkan ruh padanya … .’
Sabda …)) menunjukkan¶q…)) dengan menggunakan ((… ¶q çCÎIbeliau
((… diakhirkannya penulisan Malaikat
atas perkara-perkara tersebut setelah waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan
dalam hadits-hadits yang lain penulisan itu ditetapkan setelah waktu 40 hari
yang pertama. Jawaban Õv©¿à ÕvlFDdari
permasalahan ini adalah bahwasanya sabda beliau ((… …)) merupakan ma’thuf dari sabdanya ((…¶q çCÎI ªÛvt ¯Ûpnm …)) bukan dengan sabda sebelumnya yakni ((…çJpÏ Õæ ±cs §Ýt
¶q çluà ÝZÒE ÝHnt …)). Maka sabda beliau ((… ¶q çluà ÝZÒE ÝHnt
…)) merupakan kalimat sisipan antara ma’thuf dan ¶q çluà ÌnjE ÝHnt¡
ma’thuf ‘alaih dan yang demikian ini dibolehkan dan biasa dijumpai dalam Al
Qur’an, hadits yang shahih, dan selainnya dari ucapan orang-orang Arab.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
“Sabda ÕvlFD… )) merupakan ma’thuf dari (( … ¶q çluà ÌnjE ÝHnt ¿Ûmbeliau
((… … )) merupakan kesempurnaan dari çJpÏ…
)). Adapun sabdanya (( … kalimat-kalimat
yang awal. Dan tidaklah yang dimaksudkan bahwasanya penulisan Malaikat itu baru
terjadi setelah selesai tiga tahap kejadian (dari nuthfah sampai menjadi
mudhghah). Bisa jadi (yang diberitakan dalam hadits Ibnu Mas’ud) yang
dimaksudkan adalah untuk susunan berita saja, bukan susunan yang diberitakan.”
(Fathul Bari 11/485)
Yang jelas penulisan takdir untuk janin di perut
ibunya bukanlah penulisan takdir yang ditetapkan untuk semua makhluk sebelum
makhluk itu dicipta. Karena takdir yang demikian telah ditetapkan 50.000 tahun
sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari Abdullah
bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya Allah menetapkan takdir-takdir
makhluknya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.”
(HR. Muslim 2653, shahih)
Dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu
dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
Pertama
kali yang Allah ciptakan adalah pena (Al Qalam). Lalu Dia berfirman kepadanya :
“Tulislah!” Maka pena menuliskan segala apa yang akan terjadi hingga hari
kiamat. (HR. Abu Daud 4700, Tirmidzi 2100, dan
selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Iqadzul Himam)
Banyak nash yang menyebutkan bahwa penetapan takdir
seseorang apakah ia termasuk orang yang bahagia atau sengsara telah ditulis
terdahulu. Antara lain dalam Shahihain dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Tidak ada satu jiwa melainkan Allah telah
menulis tempatnya di Surga atau di neraka dan telah ditulis sengsara atau
bahagia.” Maka seorang laki-laki berkata : “Wahai Rasulullah! Mengapa kita
tidak mengikuti (saja) ketentuan kita (yang telah ditulis) dan kita tinggalkan
amal?” Maka beliau bersabda : “Beramal-lah, maka setiap orang akan dimudahkan
terhadap apa yang ditetapkan baginya. Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan
baginya untuk beramal dengan amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang
sengsara akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang
sengsara.” Kemudian beliau membaca : “Adapun orang yang memberikan (hartanya di
jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga),
maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail :
5-7) [HR. Bukhari 3/225 -Fathul Bari dan Muslim 2647]
Bahagia atau sengsara seseorang ditentukan oleh
akhir amalnya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas.
Demikian pula dalam hadits berikut, dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
“Sesungguhnya hanyalah amal-amal ditentukan pada
akhirnya (penutupnya).” (HR. Bukhari 11/330 -Fathul Bari)
Sebagai penutup dapat kita simpulkan bahwa Allah
Maha Kuasa menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menciptakan manusia
pertama (Adam ‘Alaihis Salam) dari tanah, sedangkan anak-anak Adam berketurunan
dengan nuthfah hingga akhir kehidupan nanti. Dia tempatkan nuthfah dalam rahim
ibu dan dijaga oleh seorang Malaikat. Nuthfah ini kemudian pada akhirnya
menjadi segumpal daging dan dari segumpal daging terus berkembang hingga
menjadi sosok anak manusia kecil yang bernyawa lengkap dengan pendengaran,
penglihatan, tangan, dan kaki. Bersamaan dengan itu telah ditulis ketentuan
takdir untuknya, apakah rezkinya lapang ataukah sempit, apakah amalnya baik
atau sebaliknya, kapan datang ajalnya dan apakah ia termasuk hamba Allah yang
beruntung ataukah yang sengsara. Naudzubillah!
Tatapan Kehidupan Manusia
Lima Fase Kehidupan Seorang Insan
1.Fase pertama: Dari dilahirkan hingga usia baligh (kurang lebih 15
tahun)
Masa ini adalah masa-masa untuk menanam, yakni fase pembentukan anak yang
dibentuk dengan selera dan keinginan orang tuanya masing-masing. Maka pada masa
ini tanggung jawab pendidikan mereka lebih ditujukan pada orang tua atau wali
dari masing-masing anak tersebut. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi sallam:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut seorang Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR.Muslim)
Sang anak lahir dalam keadaan mengetahui apa-apa, tidak mengerti apa saja
yang bisa memberi manfaat maupun yang mendatangkan bahaya baginya.
Sehingga pada tahapan ini sangat bergantung pada pendidikan orang tua kepada
anak-anaknya masing-masing. Jika dia mendidik mereka dengan Tarbiyyah Maddiyyah
(pendidikan materi/duniawi), maka anak tersebut akan tumbuh sebagai anak yang
berorientasi ke dunia (materi) saja. Yang dipikirkan dan dikerjakannya adalah
demi kepentingan duniawi atau meraih materi semata, sebagaimana yang terjadi
pada kaum Hedonis.
Demikian pula sebaliknya, jika yang diupayakan oleh orang tuanya adalah
Tarbiyah Diniyyah (pendidikan agama), maka dengan izin Allah subhaanahu wa
ta’aalaa anak tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang shalih atau
shalihah.
Maka yang dituntut untuk berperan aktif pada fase ini adalah para orang tua,
agar mereka senantiasa memberikan Tarbiyah Diniyyah kepada anak mereka,
sehingga dihasilkan anak-anak yang shalih dan shalihah. Sebagaimana yang telah
Allah subhaanahu wa ta’aalaa perintahkan:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka.” (At- Tahrim: 6)
Dengan cara mengajari dan membenahi akidah (keyakinan), ibadah, muamalah,
akhlak, dan adab sang anak, sesuai tuntunan syariat. Karena masa-masa ini
merupakan tahapan yang menentukan bagi seseorang. Jika orang tua mampu (dengan
izin Allah) mencetak anak-anaknya menjadi anak yang shalih dan shalihah, maka
insya Allah pada tahap berikutnya akan lebih mudah untuk dilalui. Namun jika
orang tuanya gagal dalam mendidik sang anak pada tahapan ini, maka pada
fase-fase berikutnya akan jauh lebih sulit untuk dilalui.
2. Fase kedua: Dari usia baligh sampai akhir usia syabab (35 tahun)
Pada usia ini seseorang sudah menjadi mukallaf (terbebani syariat), diperintah
oleh syariat untuk mengerjakan sesuatu atau diperintah oleh Allah untuk
meninggalkan sesuatu. Dalam tahapan ini bisa kita sebut dengan masa jihad,
yaitu jihad melawan nafsu dan iblis beserta bala tentaranya. Sehingga dalam
masa ini seseorang dituntut bersungguh-sungguh untuk berperang melawan hawa
nafsunya.
Pada waktu yang sama, sang anak baru saja baligh, yang saat ini merupakan
usia labil. Keumuman mereka lebih mengedepankan hawa nafsu, belum bisa
menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka lebih mengutamakan
dorongan nafsu sepintas. Maka pada fase kedua ini tergantung dari keberhasilan
fase yang pertama.
Pada waktu yang sama, sang anak baru saja baligh, yang saat ini merupakan
usia labil. Keumuman mereka lebih mengedepankan hawa nafsu, belum bisa
menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka lebih mengutamakan
dorongan nafsu sepintas. Maka pada fase kedua ini tergantung dari keberhasilan
fase yang pertama.
Jika orang tuanya berhasil mendidik dia pada fase pertama, maka pada masa
ini akan lebih mudah untuk mengarahkan sang anak. Mudah bagi dia untuk
mengenali syahwat yang menggodanya, juga mudah baginya untuk mengenali syubuhat
(kerancuan-kerancuan) yang ada. Dia akan menjadi pemuda yang shalih, siap
berperang melawan hawa nafsunya. Yang seperti ini karena keberhasilan tarbiyah
(pendidikan) yang sebelumnya.
Jika dia berhasil melewati fase ini maka dia tergolong pemuda yang mulia,
memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rabb Semesta Alam subhaanahu wa
ta’aalaa, sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam:
“Tujuh golongan yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa akan menaungi mereka di
hari kiamat, yang ketika itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (di
antaranya) seorang pemuda yang dia tumbuh berkembang dalam keadaan taat beribadah
pada Rabb-nya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Hadits ini menjelaskan adanya pemuda yang berhasil melalui fase kedua tadi,
menang dalam jihad melawan hawa nafsunya. Dia meraih keutamaan ini dengan
melakukan perjuangan yang berat, dengan penuh kesabaran, karena jarang ada
kawula muda yang rela mengorbankan waktunya untuk duduk, tafaqquh fid din
(belajar agama), dan melakukan ketaatan-ketaatan lainnya. Ini jika dibandingkan
dengan mayoritas kawula muda yang hanyut dalam kemaksiatan, berkubang dalam
syahwat, hura-hura, foya-foya dan semisalnya.
Jika pada fase kedua ini berhasil maka akan lebih mudah bagi dia untuk
melalui fase berikutnya. Namun sebaliknya, jika gagal maka akan lebih
mengerikan. Karena dia akan menjadi seorang pemuda yang hanya memperturutkan
hawa nafsunya, larut dalam melakukan berbagai kemaksiatan, dan kemungkaran. Wal
‘iyadzu billah.
3. Fase ketiga: Dari usia 35–50 tahun
Kita bisa menyebutnya dengan masa “aji mumpung,” bisa bermakna positif dan bisa
negatif. Jika sebelumnya dia berhasil menjadi pemuda yang shalih, maka pada
usia ini dia akan menggunakannya secara positif. Mumpung (selagi masih ada
waktu) untuk meneruskan dan terus melakukan amal shalih, mumpung masih memiliki
kekuatan dari sisa-sisa masa mudanya, untuk terus di atas amalan-amalan ketaatan.
Karena demikianlah yang dia dapatkan dari tarbiyah (pendidikan) sebelumnya.
Di atas umur 40 tahun ketika uban mulai tumbuh, rambut, dan jenggotnya mulai
memutih, maka dia akan banyak melakukan muhasabah (introspeksi diri). Dia
mencari apa yang kurang pada masa lalunya untuk kemudian dilengkapi, jika ada
yang salah maka dia cepat ruju’ (kembali) dan bertaubat kepada Allah subhanahu
wa ta’ala. Demikianlah keadaan seorang yang shalih.
Namun sebaliknya jika pada fase sebelumnya gagal, maka ini pun menjadi aji
mumpung yang negatif. Mumpung belum terlalu tua, mumpung masih punya sisa-sisa
kekuatan, maka sekalian saja untuk melampiaskan hawa nafsunya, nanti saja
bertaubatnya kalau sudah tua. Seolah-olah ajal atau kematian ada di tangannya.
Kondisinya semakin mengerikan, kita berlindung kepada Allah subhaanahu wa
ta’aalaa dari keadaan yang seperti ini.
4.Fase keempat: Dari usia 50–70 tahun
Pada masa ini seorang yang shalih dan shalihah maka dia akan menggencarkan
muhasabah (introspeksi diri). Dia memiliki program untuk mempersiapkan
kedatangan maut, banyak mengingat mati, dan memperbanyak amal shalih.
Adapun sebaliknya seseorang yang pada fase-fase sebelumnya gagal dan pada
usia ini dia masih berprinsip “aji mumpung”, maka sungguh keterlaluan. Karena
secara fisik sudah tidak memadai baginya, karena umumnya sudah renta, ringkih,
dan lemah. Secara usia pun sudah tidak sepantasnya.
Jika pada masa-masa ini dia masih senang melakukan dosa dan kemaksiatan,
maka dalam Islam orang semacam ini akan dilipatgandakan hukuman untuknya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan:
“Ada tiga jenis manusia, yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa tidak mengajak
mereka berbicara pada hari kiamat, tidak pula melihat mereka, dan bagi mereka
adzab yang pedih, (satu diantaranya -pent) seorang tua renta yang melakukan
zina.” (HR. Muslim no. 107)
Diterangkan oleh para ulama, dilipatgandakan hukuman baginya karena
faktor-faktor yang mendorong dia untuk berzina sudah sangat lemah, sudah tidak
sepadan dengan umurnya. Tetapi ketika dia masih senang melakukan perbuatan dosa
semisal ini, maka dia termasuk orang tua yang celaka.
5. Fase kelima: Dari usia 70 tahun keatas (masa renta dan umumnya pikun)
Pada fase ini seorang yang shalih dia akan memperbanyak istighfar (meminta
ampun) dan taubatnya kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa, meningkatkan amal
ibadahnya, serta memohon untuk mendapatkan husnul khatimah (akhir kehidupan
yang baik)
Komponen
Biologis Manusia
Historis
dalam proses perkembangan kultur material dan spiritual manusia di atas bumi.
Manusia merupakan manifestasi makhluk bio sosial, wakil dari spesies homo
sapiens. Menurut Alex MA., “homo sapiens” adalah manusia mempunyai potensi berpikir
dan kebijaksanaan.
Menurut
filsafat manusia, manusia dipahami secara konseptual sesuai dengan sudut
pandang kefilsafatan tertentu. Bahwa manusia adalah homo mechanicus, homo
erectus, homo ludens. Semuanya itu mengenai susunan kodrat kejasmanian.
Kemudian dinamakan homo sapiens, animal rationale, animal symbolicum yang
menitikberatkan konsepsinya pada susunan kodrat kejiwaan terutama daya cipta.
Manusia sebagai homo recentis dan homo volens, yang menitik beratkan pada aspek
rasa dan karsa. Semua tesis- tesis ini menyatu sebagai homo mensura dan homo
feber, menyatu sebagai homo educandum.
Di
samping susunan kodrat kejasmanian dan kejiwaan, manusia juga makhluk sosial atau
homo economicus dan homo sicius atau dalam artian lain homo viator dan homo religius
yang berhubungan dengan kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan. Kesemua
istilah itu akan membawa manusia sebagai homo concorus, yaitu makhluk yang siap
untuk transformasi diri dan adaptif.
Al-Qur’an
sebagai pedoman hidup bagi umat Islam secara jelas mengetengahkan konsep manusia,
menurut Muin Salim pengungkapan manusia dalam al-Qur’an melalui dua
pendekatan. Pertama, dengan menelusuri arti kata-kata yang digunakan al-Quran untuk
menunjuk makna manusia.
Secara
terminologis, ungkapan al-Qur’an untuk menunjukkan konsep manusia terdiri atas
tiga kategori, yaitu:
a)
al-insan, al-in’s, unas, al-nas, anasiy dan
insiy;
b)
al-basyar; dan;
c)
c)
bani adam “anak adam ” dan §urriyyat adam “keturunan adam”
Menurut
M. Dawam Raharjo istilah manusia yang diungkapkan dalam al -Qur’an seperti
basyar, insan, unas, insiy, ‘imru, rajul atau yang mengandung pengertia perempuan
seperti imra’ah, nisa’ atau niswah atau dalam ciri personalitas, seperti al-atqa,
al-abrar, atau ulul-albab, juga sebagai bagian kelompok sosial seperti al-asyqa,
dzul-qurba, al-dhu’afa atau al-musta«’af-n yang semuanya mengandung petunjuk sebagai
manusia dalam hakekatnya dan manusia dalam bentuk kongkrit.
Firman
Allah swt :
“Katakanlah:
Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya".
Menurut
M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang pada umumnya
berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari kata yang sama lahir
kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamakan basyarah karena kulitnya
tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang lainnya. Al-Qur’an menggunakan
kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan 1 kali dalam bentuk mu£anna
(dual) untuk menunjukkan manusia dari aspek lahiriah serta persamaannya dengan
manusia seluruhnya.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian manusia dengan menggunakan kata
basyar, artinya anak keturunan adam atau bani adam , mahkluk fisik atau
biologis yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang
menyebut pengertian basyar mencakup anak keturunan adam secara keseluruhan.
Al-Basyar
mengandung pengertian bahwa manusia akan berketurunan yaitu mengalami proses
reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan
biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum
alamiahnya, baik yang
berupa sunnatullah (sosial kemasyarakatan), maupun takdir Allah (hukum alam).
Semuanya
itu merupakan konsekuensi logis dari proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Untuk
itu, Allah swt. memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai
dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan
alam semesta, sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.
Adapun penamaan manusia dengan kata al-insan
yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan
tersebar dalam 43 surat.21 Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis,
lemah lembut, tampak, atau pelupa.
Ruh Dan Nafas
1. Ruh Dan Nafas
A.
Ruh
Kata roh juga memiki 2 makna :
·
Makna yang pertama
adalah roh alami atau nyawa yang berbentuk seperti uap, bersumber dari darah
hitam yang terdapat dalam rongga hati. Uap ini tersebar melalui pembuluh nadi
yang ada di semua bagian anggota tubuh. Roh dengan makna seperti ini dapat
diilustrasikan seperti cahaya lampu yang menerangi setiap sudut rumah. Inilah
yang dimaksud oleh para dokter dengan nyawa.
·
Makna yang kedua
adalah bisikan halus rabbaniah (ketuhanan) yang menjadi makna hakiki dari
hati. Roh dan hati ini menyampaikan bisikan halus tersebut dalam satu rangkaian
secara berurutan. Makna roh seperti inilah yang diisyaratkan
firman Allah SWT:
Artinya :
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, ‘Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit.’” ( QS. Al-Israa’ 85).
B. NAFAS
Nafs atau jiwa atau
soul, adalah sebuah entitas lain dari diri manusia sebagai jasad, dimana dia
berasal dari alam malakut yang terbuat dari elemen cahaya, akan tetapi bukanlah
seperti cahaya yang terbayangkan oleh kita ketika melihat cahaya lampu, elemen cahaya
ini sangat khas dan tak terinderai oleh mata lahiriyah kita, sebagaimana Allah
telah menciptakan malaikat dari elemen yang sama. Jiwa juga memiliki indera
sebagaimana yang dimiliki oleh indera jasad tetapi dalam dimensi yang berbeda
karena perbedaan elemen pembentuknya.
Misalkan dalam jasad ada
mata untuk melihat setiap benda yang dapat di inderai yang memiliki wujud
dengan ruang dan waktu, maka dalam jiwa atau nafs terdapat mata jiwa atau
istilah umum yang digunakan adalah mata batin, yang dalam Alquran diistilahkan
dengan al-bashirah, juga memiliki fungsi untuk melihat, namun yang dilihatnya
adalah apa yang tak tampak dalam penglihatan jasad, karena itu dia dapat
memiliki kemampuan melihat jauh di atas kemampuan jasad, seperti alam malakut
semisal malaikat dan jiwa-jiwa lainnya. Bahkan sering kita mendengar seorang
yang karena keshalihannya sehingga Allah Swt anugerahkan sebuah keterbukaan
pada bashirah-nya hingga dia bisa membaca apa yang ada dalam hati orang lain.
Demikian pula dengan
indera jasad lainnya, maka jiwa pun memiliki indera yang semisal. Jadi yang
membedakan keduanya hanyalah materi yang membentuknya. Jasad tersusun dari
materi bumi, yaitu air, api, tanah dan udara yang semuanya berasal dari alam
mulk atau alam kasat mata (alam syahadah), sedangkan jiwa dibuat dari materi
cahaya, yang semisal dengan materi malaikat karena keduanya berasal dari alam
malakut. AlGhazali menyebut istilah nafs ini dengan sebutan ”sesuatu yang
abstrak yang membentuk diri manusia secara hakiki”.
Selanjutnya beliau
melanjutkan bahwa nafs ini dilukiskan dengan berbagai macam sifat sesuai dengan
bebagai keadaannya yang berbeda-beda. Jika ia dalam keadaan selalu tenang dan
tenteram dalam menerima ketentuan Allah dan lainnya, dan terhindar dari
kegelisahan yang disebabkan oleh pelbagai macam godaan ambisi, maka ia disebut
nafs muthmainnah (jiwa yang tenang dan tentram).
9
Firman Allah surah
Artinya :
”Wahai nafs muthmainnah,
kembalilah kepada Rabb-mu dalam keadaan ridla dan diridlai.” ( QS fajr ayat 27-28 )
Sedangkan apabila nafs ini selalu gelisah
karena berada dalam kondisi perlawanan terhadap godaan syahwat hawa nafsu, maka
ia disebut dengan nafs lawwaamah. (jiwa yang senantiasa menyesali dirinya dan
mengecam). Karena ia selalu menyesali dirinya sendiri atas kelalaiannya dalam
melakukan pengabdian kepada Allah.
Firman Allah surah
Artinya :
”..dan Aku (Allah) bersumpah
dengan nafs lawwaamah (jiwa yang selalu mengecam)” (QS 75:2)
Selanjutnya, jika nafs ini tidak berusaha
menyesali dirinya, bahkan senantiasa tunduk patuh kepada dorongan hawa nafsu
dan memperturuti bisikan syetan, maka ia disebut nafs ammaarah bis-suu`i (Nafs
yang cenderung menyuruh pada kejahatan).
Karakteristik Manusia
Dalam kehidupan ini manusia dapat
diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu:
1. Manusia
yang Berperilaku dengan Akhlak Islamiah
Ia adalah
orang yan rajin beribadah dan rajin ke mesjid. Orang seperti ini harus di nomor
satukan, karena mereka lebih dekat dengan dakwah kita, sehingga tidak
membutuhkan tenaga yang banyak dan untuk mengajak mereka pun tidak banyak
kesulitan, Insya Allah.
2. Manusia
yang Berperilaku dengan Akhlak Asasiyah
Ia adalah
orang yang tidak taat beragama, tetapi tidak mau terang-terangan dalam berbuat
maksiat karena ia masih menghormati harga dirinya. Orang-orang semacam ini
menempati urutan kedua.
3. Manusia
yang Berperilaku dengan Akhlak Jahiliah
Ia adalah
orang yang bukan dari golongan pertama dan kedua. Dialah orang yang tidak
peduli terhadap orang lain, sedang orang lain mencibirnya karena perbuatan dan
perangainya yang jelek. Rasullullah saw bersabda, “sesungguhnya sejelek-jelek
tempat manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan
(dijauhi) masyarakatnya karena takut dengan kejelekannya”. (HR. Bukhari dan
Muslim). Golongan inilah yang disebut dalam sabda Raullullah saw sebagai
“”sejelek-jeleknya tempat bergaul”. (HR Muslim).